Vonis 20 Tahun Ibu Tiri, LBH KRI: Jangan Ada Lagi Nizam yang Lain

 

Pontianak – Lembaga Bantuan Hukum Kapuas Raya Indonesia (LBH KRI) melalui Koordinator Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Maria Putri Anggraini Saragi, menyampaikan apresiasi kritis atas putusan Pengadilan Negeri Pontianak terhadap terdakwa Iftahurrahmah, ibu tiri dari Ahmad Nizam Alfahri (6), yang divonis 20 tahun penjara dan denda Rp4 miliar atas tindak kekerasan berat yang menyebabkan kematian sang anak.

Putusan ini tertuang dalam Putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor 730/Pid.Sus/2024/PNPtk, tertanggal 16 April 2025. Terdakwa dijatuhi pidana setelah menjalani 14 kali persidangan yang menyita perhatian publik dan menggugah rasa kemanusiaan banyak pihak.

Kekerasan terhadap Anak adalah Kejahatan Luar Biasa

Maria menekankan bahwa kasus ini merupakan tragedi kemanusiaan yang mencederai nurani, bukan hanya sebagai Tindak Pidana, melainkan bentuk kejahatan luar biasa terhadap anak yang tak berdaya.

“Kekerasan yang dilakukan oleh orang tua tiri, seseorang yang semestinya menjadi pelindung, justru menjadi pelaku yang merenggut nyawa anak. Ini bukan sekadar kejahatan, ini pengkhianatan terhadap hak asasi manusia paling mendasar,” ujarnya dengan nada lirih namun tegas saat menyampaikan keterangannya pada Kamis, 17 April 2025 di Kantor LBH KRI.

Maria juga menyoroti pentingnya memperlakukan kasus kekerasan terhadap anak sebagai isu darurat nasional.

“Putusan ini harus menjadi refleksi dan momentum penting bagi negara, khususnya aparat penegak hukum, untuk menegakkan perlindungan hukum bagi anak dengan tanpa kompromi. Anak-anak adalah masa depan bangsa, dan setiap bentuk kekerasan terhadap mereka harus dijawab dengan tindakan hukum yang tegas dan berpihak pada korban,” lanjutnya.

Sorotan terhadap Proses dan Substansi Hukum

LBH KRI mengapresiasi keberanian dan kejelasan Majelis Hakim dalam menjatuhkan vonis berat, berdasarkan Pasal 80 ayat (3) jo. Pasal 76C Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, serta Pasal 64 ayat (1) KUHP. Maria menyebut langkah ini sebagai bentuk konkret bahwa hukum masih dapat menjadi alat keadilan jika ditegakkan dengan kesungguhan.

Namun, Maria juga mengingatkan bahwa putusan ini bukan akhir dari perjuangan, melainkan awal dari konsolidasi perlindungan anak yang lebih sistematis dan berkelanjutan.

“Sudah saatnya kita bicara tentang pencegahan, bukan sekadar menghukum setelah nyawa melayang. Sistem perlindungan sosial, pengawasan terhadap pola asuh, hingga respons cepat terhadap laporan kekerasan harus diperkuat dari hulu ke hilir,” tegas Maria.

Langkah Konkret dan Harapan ke Depan

LBH KRI mendorong agar semua elemen pemerintah daerah dan pusat, termasuk lembaga kesejahteraan sosial dan pendidikan, memperkuat literasi perlindungan anak di tingkat akar rumput.

“Kami mendorong adanya intervensi berbasis komunitas yang berorientasi pada pengawasan, edukasi, dan pendampingan psikologis, terutama bagi anak-anak dalam keluarga asuh atau keluarga tiri,” kata Maria.

Selain itu, LBH KRI menyerukan kepada pemerintah untuk memperluas jangkauan sistem pelaporan kekerasan anak berbasis digital dan memastikan bahwa semua laporan ditindaklanjuti secara cepat dan akurat.

“Tidak boleh ada lagi anak yang terabaikan. Kita tidak boleh lelah menjadi suara bagi mereka yang belum mampu bersuara,” tambahnya.

Jangan Biarkan Kasus Ini Menjadi Sekadar Angka

Maria mengingatkan bahwa Ahmad Nizam bukanlah sekadar angka dalam statistik kekerasan terhadap anak. Ia adalah simbol dari ribuan anak yang menjadi korban, namun tidak semua mendapatkan keadilan.

“Hari ini kita menang satu pertempuran kecil, tapi perang melawan kekerasan terhadap anak belum usai. Kita semua harus terus berdiri bersama anak-anak, bukan hanya saat tragedi terjadi, tapi setiap hari, di setiap rumah, dan di setiap ruang hukum negara ini,” pungkas Maria dengan penuh haru.