Negara Tidak Boleh Gagal Lindungi Perempuan dari Kekerasan Seksual


Pontianak  — Lembaga Bantuan Hukum Kapuas Raya Indonesia (LBH KRI) melalui Koordinator Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Maria Putri Anggraini Saragi, menyampaikan pernyataan resmi dan mendalam terkait penanganan dugaan Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) di salah satu instansi pemerintahan di Kalimantan Barat. Kasus yang kini sedang dalam proses penyidikan di Polda Kalbar ini telah melibatkan setidaknya delapan perempuan korban, dengan tujuh di antaranya telah memberikan kuasa kepada LBH KRI.

Panggilan untuk Bersama Mengawal: Negara Harus Hadir

Maria menyerukan kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), serta Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Kalimantan Barat, untuk tidak berpangku tangan.

“Saya mengajak seluruh institusi yang memiliki mandat konstitusional dan moral untuk segera turun tangan. Kita harus kawal kasus ini bersama, karena ini bukan sekadar pelanggaran hukum — ini adalah pelanggaran terhadap martabat kemanusiaan,” tegas Maria di Kantor Lembaga Bantuan Hukum Kapuas Raya Indonesia, Kubu Raya, Jum’at (25/04/2025).

Maria juga menyoroti bahwa kekerasan seksual bukan sekadar soal berapa tahun pidana dijatuhkan, tetapi soal bagaimana negara menjawab rasa takut, luka, dan kehancuran psikologis yang dialami korban.

“Para korban tidak menuntut pembalasan, mereka menuntut keadilan dan pemulihan. Mereka ingin kembali hidup dengan rasa aman, tanpa dihantui stigma dan ketidakadilan sistemik,” ungkapnya.

Kritik Tajam atas Paradigma Penanganan yang Masih Umum

Dalam proses penyidikan, LBH KRI menerima informasi dari penyidik bahwa meskipun tersangka mengakui ada delapan korban, hanya empat yang “masih ada buktinya” dan hanya tiga yang sejauh ini dimintai keterangan sebagai saksi. Bahkan satu korban yang saat ini tengah menjalani cuti, belum juga dimintai keterangan karena menunggu petunjuk jaksa.

“Mengapa dalam kasus seperti ini, korban harus menunggu sistem? Bukankah hukum semestinya bergerak demi mereka? Ini menunjukkan bahwa kekerasan seksual sebagai kejahatan serius (graviora delicta) belum sepenuhnya dipahami dan ditangani dengan pendekatan yang semestinya. Penanganannya masih menggunakan kacamata pidana umum, padahal kekerasan seksual memiliki dimensi traumatik dan struktural yang sangat kompleks,” kata Maria.

Ia mengingatkan bahwa kekerasan seksual tidak boleh direduksi hanya sebagai urusan pribadi atau diselesaikan melalui jalur damai.

“Ini bukan soal menjaga nama baik institusi. Ini soal menyelamatkan masa depan perempuan dari teror kekuasaan dan kebungkaman. Ketika korban disudutkan karena dianggap ‘lebay’ atau terlalu sensitif, kita sedang menciptakan ruang impunitas bagi pelaku, dan itu adalah kegagalan negara,” tegasnya.

Paradoks Hukum dan Ancaman Sistemik

Maria juga mengecam keras narasi yang mengedepankan masa depan pelaku sebagai PNS muda sebagai alasan untuk tidak melanjutkan proses pidana.

“Keadilan bukan soal usia atau masa depan pelaku. Bagaimana dengan masa depan para korban? Apa yang tersisa dari mereka jika pelaku justru dilindungi karena kariernya dianggap berharga? Ini bukan soal satu orang, ini soal pesan apa yang negara kirimkan pada perempuan lain: bahwa kekerasan terhadap mereka bisa dinegosiasikan,” ujar Maria dengan suara yang penuh amarah yang beralasan.

Keadilan yang Progresif dan Berperspektif Korban

Maria menekankan bahwa keadilan dalam konteks TPKS harus progresif, tidak bisa hanya menunggu “kesempurnaan bukti”. Harus ada keberanian negara dan penegak hukum untuk berdiri di sisi korban, memberikan ruang pemulihan, bukan memperpanjang penderitaan mereka melalui proses yang lamban dan sarat pembuktian konvensional.

“Pemidanaan adalah harga dari pelanggaran hukum. Tapi keadilan sejati adalah ketika korban bisa hidup kembali tanpa rasa takut, dan pelaku mempertanggungjawabkan perbuatannya secara penuh — tidak hanya secara administratif, tetapi juga secara pidana dan moral,” ujar Maria.

Saatnya Negara Mendengar Luka Perempuan

“Kekerasan seksual bukan sekadar pelanggaran terhadap tubuh. Ia adalah pengingkaran terhadap martabat. Ketika negara gagal menangani secara progresif, kita sedang menyaksikan peradilan yang cacat empati,” pungkas Maria dengan penuh keprihatinan.

LBH Kapuas Raya Indonesia menegaskan komitmennya untuk terus mendampingi para korban hingga keadilan tercapai. Negara tidak boleh gagal. Negara harus hadir — bukan sebagai penonton, tetapi sebagai pelindung yang menjawab derita dengan keberanian, dan luka dengan keadilan.