Pontianak – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kapuas Raya Indonesia melalui Koordinator
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Maria Putri Anggraini Saragi,
menyoroti serius fenomena perdagangan orang dan pekerja migran nonprosedural
yang masih terus terjadi di Kalimantan Barat.
Dalam keterangan pers yang dirilis Senin pagi (7/4/2025), Maria menyatakan bahwa negara
tak cukup hanya mengimbau, melainkan harus bertindak konkret melalui langkah
pencegahan yang terukur dan terstruktur lintas kelembagaan.
“Isu Pekerja Migran Indonesia (PMI) bukan sekadar isu nasional. Ini
menyangkut lintas negara, antar-pemerintahan, dan wilayah yurisdiksi. Kalau
begitu, apakah cukup hanya dengan imbauan? Bukankah sudah menjadi tanggung
jawab negara untuk melindungi warganya sebelum mereka menjadi korban
eksploitasi?” ujar Maria.
Sorotan ini mencuat setelah adanya pihak yang mengimbau warga Sambas agar tidak berangkat menjadi
PMI melalui jalur tidak resmi. Sambas dikenal sebagai wilayah rawan karena
berbatasan langsung dengan Sarawak, Malaysia, yang kerap dijadikan titik transit oleh jaringan
perdagangan orang.
Menurut Maria, letak geografis strategis Kalbar bukanlah alasan permanen
yang tak bisa diintervensi.
“Faktornya jelas, longgarnya kontrol perbatasan, lemahnya sosialisasi hukum keimigrasian, dan minimnya alternatif
ekonomi lokal. Apakah kita hanya mau berputar-putar pada masalah yang sama setiap
tahun tanpa keberanian memperbaiki sistem?” tegasnya.
Maria juga menyebut bahwa kurangnya langkah preventif konkret dan terukur dari
Aparat Penegak Hukum (Polri), BP2MI, serta instansi terkait menjadi akar
masalah yang tak kunjung diselesaikan. Ia menilai, tindakan negara baru tampak
aktif setelah ada korban, bukan dalam kerangka pencegahan dini.
“BP3MI dan Polri yang ada
di daerah memang telah bekerja sama dalam pemulangan
dan reintegrasi korban TPPO, tapi itu cenderung terjadi apabila setelah ada mereka yang menjadi korban. Lalu siapa yang
mencegah agar mereka tidak berangkat dari awal? Ini yang tidak jelas,” ujar
Maria lagi.
Maria menegaskan, semua pihak harus keluar dari ego sektoral.
Menurutnya, persoalan PMI bukan tanggung jawab tunggal BP2MI, apalagi hanya
dibebankan ke satu-dua institusi lokal di Kalbar.
“Harus ada pendekatan lintas institusi, termasuk kerja sama
internasional yang aktif. Karena faktanya, wilayah tujuan PMI ilegal seperti Thailand,
Myanmar, dan Kamboja, tidak memiliki perjanjian resmi dengan Indonesia. Ini
membuka ruang eksploitasi sistemik dan terorganisasi,” ungkapnya.
Data BP2MI hingga Juni 2024 mencatat bahwa negara penempatan resmi
terbanyak adalah Hong Kong (53.608 PMI), disusul oleh Taiwan (44.920) dan Malaysia
(32.706). Sementara itu, Thailand, Myanmar, dan Kamboja tidak termasuk dalam
daftar negara dengan penempatan resmi, namun tetap menjadi tujuan PMI ilegal
yang rawan perdagangan orang.
Maria menilai bahwa akar masalahnya terletak pada ketimpangan ekonomi
dan kegagalan negara dalam memberi alternatif nyata bagi masyarakat yang rentan dieksploitasi.
“Kalau ekonomi kita kuat, kalau UMKM hidup, kalau ada pekerjaan layak, tidak adanya PHK Sepihak, siapa yang mau berangkat secara ilegal? Nyatanya ini terus terjadi.
Maka, kita perlu refleksi diri sih
lebih tepatnya, ada yang salah dengan cara
kita membangun negara
ini,” ucap Maria secara kritis.
Sebagai solusi, LBH Kapuas Raya Indonesia mendorong:
1.
Evaluasi regulasi dan SOP
kerja penanganan PMI oleh semua instansi terkait, termasuk Polri dan BP2MI;
2.
Penataan ulang sistem
informasi dan edukasi hukum keimigrasian, khususnya di wilayah perbatasan;
3.
Penguatan pemberdayaan ekonomi
berbasis masyarakat, tidak hanya melalui konsep, tapi implementasi yang terukur;
4.
Pendekatan HAM dan gender
dalam menyusun program pencegahan eksploitasi pekerja perempuan.
“Mari kita berhenti menormalisasi peran negara hanya sebatas ‘pemadam kebakaran’. Negara harus hadir sejak awal, sebelum kobaran itu membakar hak-hak warganya,” tutup Maria.