Ketapang — Lembaga Bantuan
Hukum Kapuas Raya Indonesia (LBH KRI) melalui Koordinator Wilayah I, Iga
Pebrian Pratama, S.H., CPM., CPLi., CPArb., memberikan pernyataan resmi dan
reflektif atas Surat Dakwaan yang telah dilayangkan oleh Penuntut Umum
Kejaksaan Negeri Ketapang terhadap terdakwa Ratnida alias Nida binti Asri dalam
perkara pidana Nomor 224/Pid.B/2025/PN Ktp. Ratnida yang merupakan istri siri
dari mendiang Andriyansyah, Kepala Desa Karya Mukti, didakwa dengan dakwaan
alternatif atas dugaan pembunuhan terhadap korban, yang sempat menyulut
kontroversi dan perhatian publik secara luas.
Iga menyampaikan
bahwa sejak awal, LBH KRI menjadi salah satu elemen yang mendorong perkara ini
menjadi atensi serius dari lembaga-lembaga seperti Komnas HAM RI dan LPSK RI,
mengingat adanya dugaan awal yang cenderung melemahkan konteks pidana dalam kasus
ini. Bahkan, kasus yang kini didakwa dengan Pasal 340 KUHP (pembunuhan
berencana) dan subsider Pasal 338 KUHP (pembunuhan), sempat hanya disangkakan
Pasal 359 KUHP (kelalaian yang menyebabkan kematian), yang tidak mencerminkan
secara utuh nilai nyawa dan hak korban.
“Kami sejak awal
menolak pendekatan yang menyederhanakan kasus ini sebagai kelalaian semata.
Proses hukum ini adalah representasi dari bagaimana negara memandang nyawa
warganya. Maka, pilihan pasal dalam dakwaan adalah penentu arah keadilan. Tidak
boleh ada ketidakjelasan, apalagi kompromi dalam kasus kehilangan nyawa manusia
yang penuh tanda tanya dan luka mendalam bagi keluarga korban,” ujar Iga.
Dalam analisis
yuridis yang telah dilakukan LBH KRI terhadap surat dakwaan, ditemukan bahwa
dakwaan telah memenuhi syarat formil berdasarkan Pasal 143 ayat (2) KUHAP, dan
disusun dalam bentuk dakwaan alternatif. Namun, pembuktian Pasal 340 tetap
menghadapi tantangan karena adanya evaluasi psikologi yang menunjukkan terdakwa
impulsif dan manipulatif, serta waktu antara niat dan tindakan yang relatif
singkat.
Meski demikian,
bukti-bukti seperti laporan visum, autopsi, petunjuk fisik, dan perilaku
terdakwa yang mencoba menyamarkan kejadian sebagai bunuh diri, cukup kuat
mendukung dakwaan Pasal 338 KUHP.
“Yang menjadi inti
adalah bahwa terdakwa secara sadar melakukan perbuatan yang menghilangkan
nyawa, dan fakta itu harus dikedepankan tanpa terkaburkan oleh celah teknis
pembuktian,” jelas Iga.
LBH KRI
mengingatkan agar proses hukum ini dijalankan dengan menempatkan korban sebagai
pusat perhatian, bukan sekadar terdakwa sebagai objek analisis pidana.
“Kita tidak boleh
kehilangan perspektif bahwa yang hilang adalah nyawa manusia, seorang kepala
desa, seorang suami, dan anggota masyarakat yang memiliki hak untuk hidup dan
mendapat perlindungan hukum,” tegas Iga.
Iga menekankan
bahwa keadilan bukan hanya soal penghukuman, tetapi soal bagaimana sistem hukum
menegaskan keberpihakan terhadap nilai hidup, integritas proses hukum, dan rasa
aman masyarakat.
“Korban dan
keluarga tidak boleh menjadi pihak yang dikorbankan oleh sistem hukum yang
tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Hukum harus berpihak pada mereka yang
kehilangan, bukan justru membebani mereka dengan keraguan,” tambahnya.
Iga kembali
menegaskan bahwa LBH KRI akan terus mengawal jalannya persidangan, memberikan
dukungan hukum kepada keluarga korban secara moril dan memantau jalannya
persidangan.
“Kami mendorong agar Majelis Hakim mengedepankan keadilan substantif. Kami juga berharap Kejaksaan tidak ragu membuktikan niat jahat terdakwa, terlepas dari tantangan pembuktian Pasal 340. Jika pun diperlukan, pembuktian pada Pasal 338 tetap harus dijalankan dengan integritas tinggi dan komitmen terhadap keadilan,” tutup Iga.