LBH Kapuas Raya Indonesia: Penegakan Hukum Harus Memulihkan, Bukan Sekadar Memenjarakan

Pontianak, Kalimantan Barat — Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kapuas Raya Indonesia menanggapi pernyataan Kementerian Hukum dan HAM Wilayah Kalimantan Barat yang mengimbau pelaku usaha untuk tidak sembarangan menggelar nonton bareng (nobar) pertandingan sepak bola tanpa izin.

LBH Kapuas Raya Indonesia menilai bahwa persoalan ini tidak lagi sekadar soal imbauan, tetapi tentang sejauh mana negara benar-benar memahami dan siap menjalankan penegakan hukum yang menyentuh akar permasalahan—yakni pemulihan hak ekonomi bagi pemegang lisensi resmi.

Fenomena pelanggaran hak siar bukanlah hal baru. Kasus serupa telah berulang di tahun-tahun sebelumnya, dan tampaknya masih akan terus terjadi jika penanganannya tidak mengalami pergeseran paradigma.

“Kenapa ini terus berulang di tahun-tahun sebelumnya? Apakah negara hanya bisa menunggu pelanggaran terjadi lalu menghukum pelakunya, tanpa sistem mitigasi yang kokoh untuk melindungi pemilik hak siar secara ekonomi?” ujar Eka Kurnia Chrislianto, Ketua LBH Kapuas Raya Indonesia, Sabtu (5/4/2025).

Apa Masalah Sebenarnya?

Kegiatan nonton bareng pertandingan sepak bola, seperti Liga Inggris dan Liga-Liga lainnya, tanpa izin resmi dari pemegang lisensi, merupakan bentuk pelanggaran hukum yang dapat dijerat menggunakan UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Namun, LBH Kapuas Raya Indonesia mempertanyakan: sudah sejauh mana aparat penegak hukum memahami bahwa ini bukan sekadar pelanggaran acara tontonan, melainkan pelanggaran terhadap hak ekonomi yang konkret?

“Ini bukan sekadar tayangan bola. Ini soal hak ekonomi yang dilindungi oleh hukum kekayaan intelektual. Siaran itu produk bernilai komersial tinggi. Ketika coffee shop atau tempat umum menayangkannya tanpa izin, itu sama saja merampas potensi pemasukan pemilik hak siar,” tegas Eka.

LBH Kapuas Raya Indonesia juga menyentil bahwa pemahaman terhadap konsep kekayaan intelektual di level aparat penegak hukum masih sering kali terbatas pada definisi sempit.

“Apakah aparat dan regulator kita memahami bagaimana hak siar bekerja dalam konteks ekonomi global? Apakah mereka memahami bahwa hak eksklusif ini adalah bagian dari ekosistem industri kreatif yang harus dilindungi sebagaimana kita melindungi aset negara? Sudahkah ada standar operasional (SOP) yang meyakinkan bahwa setiap pelanggaran hak siar ditindak bukan hanya untuk efek jera, tapi juga untuk pemulihan hak?” tanya Eka.

Imbauan Saja Tidak Cukup

LBH Kapuas Raya Indonesia menyambut baik adanya imbauan dari Kemenkumham, namun menurut mereka, imbauan harus diikuti dengan kebijakan yang lebih konkret dan tegas. Bukan hanya peringatan, tetapi juga regulasi teknis, langkah preventif yang jelas, edukasi publik, serta yang paling penting: strategi pemulihan kerugian bagi pemegang hak.

“Pelanggaran terhadap hak siar bukan cuma mencederai hukum, tapi juga merusak keadilan ekonomi. Saat pemegang lisensi resmi dirugikan, adakah skema pemulihan? Apakah negara punya mekanisme ganti rugi atau hanya berhenti pada penetapan tersangka?” kata Eka.

Tanggung Jawab Negara: Hukum yang Memulihkan

LBH Kapuas Raya Indonesia menegaskan bahwa penegakan hukum harus transformatif, bukan hanya bersifat represif. Penjara bisa menghukum pelaku, tetapi pemulihan adalah bentuk keadilan yang sejati bagi korban.

“Setiap pelanggaran pasti punya konsekuensi. Tapi konsekuensi itu bukan hanya bagi pelaku. Negara juga punya beban moral dan konstitusional untuk memulihkan mereka yang dirugikan karena telah taat hukum,” tegas Eka.

Dengan demikian, LBH Kapuas Raya Indonesia mengajak publik dan pemerintah untuk tidak lagi memandang pelanggaran hak siar sebagai isu pinggiran, tetapi sebagai indikator kualitas hukum ekonomi nasional, dan cermin seberapa serius kita dalam melindungi hak kekayaan intelektual yang menjadi tulang punggung industri kreatif.