Pontianak – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kapuas Raya Indonesia menyatakan
keprihatinan mendalam dan kecaman keras terhadap kasus dugaan kekerasan seksual
yang dilakukan oleh seorang ayah tiri terhadap anak tirinya yang masih berusia
10 tahun di Kecamatan Subah, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Pelaku,
berinisial KUS, telah diamankan dan ditahan oleh Polres Sambas.
Dalam rilis resmi yang disampaikan oleh Maria Putri Anggraini Saragi,
Koordinator Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak LBH Kapuas Raya
Indonesia, disebutkan bahwa kekerasan seksual terhadap anak adalah tindak
kejahatan luar biasa yang tak bisa ditangani dengan langkah biasa.
“Kasus ini bukan hanya soal pelanggaran hukum, tetapi juga bentuk
penghianatan terhadap moralitas, terhadap kepercayaan anak, dan terhadap
nilai-nilai keluarga. Negara tidak boleh kompromi terhadap pelaku, dan tidak
boleh abai terhadap pemulihan korban,” tegas Maria dalam pernyataan resminya pada Jum’at (11/04/2025).
Berdasarkan laporan wartapontianak.pikiran-rakyat.com,
pelaku diduga telah mencabuli anak tirinya sebanyak lima kali di rumah mereka
di Dusun Karang Sari, Desa Sempurna. Mirisnya, tindakan terakhir dilakukan pada
Februari 2025 saat korban masih tidur di antara ibu kandungnya dan pelaku. Aksi
bejat ini dilakukan diam-diam, diikuti ancaman psikologis yang membuat korban
bungkam karena takut.
Maria menyampaikan bahwa kasus ini menggambarkan bagaimana relasi kuasa
di dalam rumah tangga kerap dimanfaatkan oleh pelaku untuk mengeksploitasi
anak-anak yang lemah dan tidak berdaya. Ia menyebut beberapa faktor krusial
yang mendasari tingginya kasus kekerasan seksual terhadap anak.
“Banyak anak tidak tahu bahwa mereka berhak dilindungi, berhak
mengatakan ‘tidak’, dan berhak didengar. Banyak orang dewasa bahkan tak paham
bahwa tindakan yang mereka lakukan adalah kejahatan,” kata Maria.
Maria juga menjelaskan bahwa dalam banyak masyarakat, masih kuat budaya tutup mulut terhadap kekerasan
domestik. Bahkan tidak sedikit keluarga memilih ‘diam demi nama baik’,
sementara anak menjadi korban trauma seumur hidup.
“Pelaku seringkali adalah orang
terdekat. Ini membuat anak korban tidak hanya kehilangan keamanan, tetapi juga
kepercayaan. Ketika pelaku adalah ayah tiri, anak dipaksa ‘diam’ karena takut
tidak dipercaya, takut dimarahi, atau karena sudah terlalu sering dikontrol
secara psikologis,” jelas
Maria.
LBH Kapuas Raya Indonesia menekankan bahwa proses hukum terhadap pelaku
harus berjalan tegas dan transparan. Namun demikian, Maria mengingatkan bahwa penegakan
hukum saja tidak cukup.
“Keadilan bagi korban tidak hanya ketika pelaku dipenjara. Keadilan adalah
ketika korban pulih. Ketika ia didampingi secara psikologis, diberi jaminan
pendidikan, dan hidupnya kembali utuh tanpa rasa takut,” tegas Maria.
LBH Kapuas Raya mendorong agar sistem peradilan anak dan perempuan
mengintegrasikan pendekatan yang berpihak pada korban—mulai dari proses
pemeriksaan yang tidak memberatkan mental korban, hingga layanan rumah aman,
pendampingan psikologis, dan bantuan hukum secara gratis.
Rekomendasi Konkret LBH Kapuas Raya Indonesia
1.
Pemberian Pendampingan
Psikologis Segera kepada Korban, termasuk penyediaan rumah
aman yang jauh dari lingkungan pelaku;
2.
Penerapan Pasal-Pasal Berat
dalam UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak beserta perubahan-perubahannya, termasuk pemberatan hukuman jika pelaku adalah orang tua atau wali;
3.
Pendidikan Hak Anak dalam
Kurikulum Sekolah, agar anak-anak tahu batas
tubuh dan hak perlindungan sejak dini;
4.
Pelibatan RT/RW dan Tokoh
Masyarakat dalam pemantauan keluarga rentan; dan
5.
Evaluasi dan Penguatan Sistem
Pelaporan, agar masyarakat dapat melapor secara cepat
dan rahasia bila terjadi kekerasan seksual di sekitar mereka.
Pesan Kemanusiaan
“Anak-anak bukan milik pribadi, bukan milik orang tua. Mereka adalah
titipan Tuhan, negara, dan masyarakat. Maka jika seorang anak disakiti, itu bukan urusan rumah
tangga, itu urusan kita semua,” pungkas Maria.
LBH Kapuas Raya Indonesia menyatakan siap memberikan bantuan hukum dan advokasi kepada korban dan keluarganya, serta mengajak semua pihak—terutama pemangku kepentingan lokal di Sambas—untuk membangun sistem perlindungan anak yang preventif dan berkelanjutan.