Pontianak – Lembaga Bantuan Hukum (LBH)
Kapuas Raya Indonesia melayangkan kritik terhadap seorang tersangka asusila
terhadap anak di bawah umur, HA, yang dilantik sebagai anggota DPRD Kota
Singkawang, Kalimantan Barat.
Koordinator Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak LBH Kapuas Raya Indonesia, Maria Putri Anggraini Saragi,
S.H., mengecam dugaan tindakan pelecehan HA terhadap anak berusia 13 tahun.
Maria makin prihatin ketika tahu tersangka tersebut malah dilantik menjadi
anggota dewan di Singkawang kemarin.
“Sungguh ini sangat-sangat menciderai
rasa keadilan bagi Perempuan dan anak ya, kami memahami adanya asas praduga tak
bersalah, akan tetapi peristiwa ini juga sudah mencerminkan betapa miris dan
ironisnya penegakan hukum pidana di negara ini,” ungkap Maria di Kantor LBH
Kapuas Raya, jum’at (20/09/2024).
Selain itu, Maria juga mengomentari
pernyataan dari Pengacara dari Pelaku HA, Pengacara
menyebutkan adanya perbedaan antara keterangan korban dengan berita
acara pemeriksaan (BAP). Menurutnya, argumen ini bisa menjadi upaya untuk
menggiring fokus ke ketidaksesuaian teknis dalam detail kejadian daripada inti
dari kasus, yaitu dugaan tindakan pencabulan atau persetubuhan terhadap anak di
bawah umur. Namun, penting untuk diingat bahwa perbedaan tanggal, meskipun
penting, tidak selalu membatalkan tuduhan jika bukti utama dan kesaksian korban
tetap kuat.
Selain itu, jelas Maria, pengacara HA
berargumen bahwa ancaman yang disebutkan oleh korban, yakni penagihan utang
ibunya, tidak termasuk sebagai ancaman kekerasan yang diakui dalam hukum.
“Ini yang perlu dipahami di bawah
hukum, ancaman yang relevan untuk kategori tindak pidana, seperti pemaksaan
seksual, umumnya harus bersifat kekerasan fisik atau ancaman serius terhadap
keselamatan seseorang. Namun, ada juga ancaman psikologis atau bentuk
intimidasi non-fisik, terutama dalam kasus yang melibatkan anak di bawah umur,
juga bisa termasuk dalam definisi ancaman. Jadi, penafsiran hukum terhadap
ancaman tersebut bergantung pada konteks dan apakah hal tersebut mempengaruhi
korban hingga merasa tidak berdaya,” terang Maria.
Maria juga kembali menyoroti
pernyataan pengacara HA menyayangkan tidak adanya pendampingan dari Komisi
Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) sejak awal kasus ini bergulir.
Argumen ini mengisyaratkan bahwa pengacara ingin menunjukkan bahwa kasus ini
tidak ditangani dengan prosedur yang sepenuhnya sesuai, terutama terkait
hak-hak korban sebagai anak. Namun, tidak adanya pendampingan dari KPAID pada
awal kasus tidak otomatis membatalkan fakta kejadian atau tuduhan yang telah
disampaikan. Hal ini lebih menekankan pada kekurangan dalam proses penanganan
kasus, bukan pembelaan terhadap tuduhan utama.
“Pengacara HA tampaknya berfokus pada
ketidaksesuaian teknis dan prosedural sebagai basis utama pembelaan kliennya,
terutama terkait perbedaan tanggal, definisi ancaman, dan alibi korban.
Meskipun argumen ini dapat berperan penting dalam melemahkan bukti yang
diajukan oleh pihak korban atau jaksa, inti dari kasus ini tetap bergantung
pada alat bukti untuk diuji di sidang pengadilan sebagai upaya untuk
menyingkirkan tuduhan berdasarkan kesalahan teknis harus diimbangi dengan fakta
materiil dari kasus, terutama dalam perkara pencabulan terhadap anak di bawah
umur,” jelas Maria.
Di lain sisi, Ketua LBH Kapuas Raya
Indonesia, Eka Kurnia Chrislianto, S.H., menyoroti keterangan Kasat Reskrim
Polresta Singkawang yang menyatakan tersangka
tak ditahan karena kasusnya masih dalam tahap penyelidikan.
“Ketika Kasat Reskrim mengatakan bahwa
kasus tersebut “masih dalam penyelidikan”, tetapi tersangka sudah ditetapkan,
maka ini tidak konsisten dengan definisi penyelidikan dan penyidikan dalam
KUHAP. Sebagaimana dijelaskan, penyelidikan adalah tahap awal untuk menentukan
ada atau tidaknya tindak pidana, sementara penyidikan adalah tahap yang lebih
lanjut untuk mengumpulkan bukti tentang peristiwa pidana yang sudah diduga kuat
terjadi,” terang Eka.
Eka menambahkan penetapan tersangka
semestinya sudah melewati tahap penyelidikan, karena untuk menetapkan tersangka
diperlukan bukti permulaan yang cukup. Oleh karena itu, penyidik sudah berada
pada tahap penyidikan, bukan lagi penyelidikan.
Selain itu, penangkapan tidak harus
selalu dilakukan setelah penetapan tersangka, tergantung pada situasi dan
adanya kekhawatiran bahwa tersangka dapat melarikan diri atau merusak barang
bukti.
“Jadi, alasan bahwa “kasus masih dalam
penyelidikan” tidak sesuai dengan logika KUHAP apabila tersangka sudah
ditetapkan. Pada titik ini, mestinya kasus sudah berada dalam tahap
penyidikan.” terang Eka.
Apabila penyidik atau pihak terkait
belum melakukan penangkapan atau penahanan terhadap tersangka, maka itu bisa
saja karena pertimbangan tertentu (misalnya, tersangka kooperatif), tetapi
secara hukum, alasan yang diberikan yaitu “masih dalam penyelidikan” padahal
sudah ditetapkan sebagai tersangka, ini di luar logika KUHAP.