Pontianak - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kapuas
Raya Indonesia menyampaikan keprihatinan mendalam atas kasus penganiayaan
brutal yang menimpa Grace Zikha Vivian Lee (GZV) dan tuntutan ringan Jaksa
Penuntut Umum (JPU) terhadap terdakwa Luci Fatmala. Tuntutan 3 (tiga) bulan
penjara yang diajukan oleh JPU Kejari Pontianak dalam sidang perkara ini
menimbulkan tanda tanya besar terhadap keberpihakan penegak hukum pada
keadilan, terutama bagi korban.
“Kami sangat menyayangkan tuntutan JPU
yang begitu ringan terhadap terdakwa Luci Fatmala. Kasus ini bukan hanya
sekadar penganiayaan fisik, tetapi juga melibatkan tindakan penghinaan terhadap
martabat dan harga diri korban, termasuk pelecehan yang dilakukan dengan
merendahkan korban secara brutal. Rambut korban dipotong, ditelanjangi,
direkam, dan video tersebut disebarkan—tindakan yang sangat merendahkan
martabat kemanusiaan dan membawa trauma mendalam bagi korban. Tuntutan hanya
tiga bulan penjara adalah bentuk pengkhianatan terhadap keadilan dan
menunjukkan adanya potensi ketidakseriusan JPU dalam memperjuangkan hak-hak
korban,” terang Koordinator Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak LBH
Kapuas Raya Indonesia, Maria Putri Anggraini Saragi, S.H., di Pontianak, kamis
(19/09/2024).
Berdasarkan fakta yang diungkapkan di
persidangan, kekerasan yang dialami korban jauh melampaui batas penganiayaan
biasa. Selain penderitaan fisik, korban dipermalukan dan dihina secara sosial,
yang menimbulkan trauma psikologis yang mendalam.
“Kami melihat ini sebagai suatu bentuk
kekerasan berbasis gender yang harus dihukum lebih berat, karena tidak hanya
menyasar tubuh korban, tetapi juga menargetkan harga diri dan martabat sebagai
seorang Perempuan,” tambah Maria.
Selain itu, Ketua Lembaga Bantuan
Hukum (LBH) Kapuas Raya Indonesia, Eka Kurnia Chrislianto, S.H., juga bernada
sama pihaknya merasa sangat prihatin dengan dugaan yang menyatakan bahwa ada
permainan hukum atau praktik ‘masuk angin’ dalam penanganan kasus ini. Hakim
dan jaksa yang seharusnya berperan sebagai penjaga keadilan, justru diduga
bertindak tidak netral.
“Pemantauan kami, dari jalannya
persidangan yang tidak memberikan kesempatan kepada saksi korban untuk
menjelaskan secara detail, hingga tuntutan ringan JPU yang tidak mencerminkan
keadilan bagi korban, ini yang membuat adanya dugaan kuat ketidakberpihakan dan
bahkan dugaan praktik jual beli hukum,” kata Eka.
Eka menuntut transparansi penuh dalam
penanganan kasus ini. Jika benar ada praktik-praktik kotor yang merugikan
korban dan menguntungkan pelaku, maka ini merupakan ancaman serius terhadap
sistem peradilan di Indonesia. Kasus ini harus menjadi momentum bagi publik
untuk terus mengawasi jalannya persidangan agar keadilan benar-benar
ditegakkan.
Lebih jauh lagi, tindakan JPU yang
hanya menuntut terdakwa tiga bulan penjara, jauh dari ancaman maksimal yang
bisa dikenakan, yaitu 2 tahun 8 bulan penjara, menunjukkan adanya kegagalan
sistem dalam memberikan hukuman yang setimpal atas kejahatan yang dilakukan.
Tindakan yang dilakukan terhadap korban bukanlah bentuk penganiayaan ringan,
namun mencakup elemen-elemen penyiksaan fisik dan mental yang sangat berat.
Adapun tuntutan LBH Kapuas Raya
Indonesia kepada Majelis Hakim yang Terhormat yang memeriksa dan mengadili
perkara:
1.
Tuntutan
Hukuman yang Setimpal
Kami mendesak Majelis Hakim untuk
tidak hanya mengikuti tuntutan JPU yang terlalu ringan. Kami berharap Hakim
bisa memberikan putusan yang jauh lebih berat untuk memberikan efek jera, serta
memulihkan rasa keadilan bagi korban dan keluarganya;
2.
Investigasi
Dugaan Permainan Hukum
Kami juga menuntut agar pihak yang
berwenang, termasuk Komisi Yudisial (KY) dan Komisi Kejaksaan, melakukan
investigasi terhadap adanya duggaan permainan hukum dalam kasus ini. Netralitas
penegak hukum harus dijaga, dan setiap dugaan kecurangan harus diusut tuntas;
3.
Perlindungan
dan Pendampingan terhadap Korban
LBH Kapuas Raya Indonesia akan terus
memberikan dukungan moral dan hukum kepada korban serta keluarganya agar mereka
tidak merasa diabaikan oleh sistem peradilan yang cenderung melindungi pelaku.
Kami mendorong lembaga negara, termasuk Komnas Perempuan, untuk ikut turun
tangan dalam memastikan keadilan gender ditegakkan dalam kasus ini.
Kasus penganiayaan terhadap Grace
Zikha Vivian Lee telah mencoreng wajah keadilan di Indonesia, terutama bagi
perempuan korban kekerasan. Kami meminta semua pihak, termasuk masyarakat luas,
untuk terus memantau jalannya proses hukum kasus ini, agar jangan sampai
terjadi vonis yang tidak mencerminkan keadilan. Hakim dan jaksa harus ingat
bahwa tugas mereka adalah melindungi hak-hak korban, bukan sebaliknya.
Mari bersama-sama kita jaga agar
keadilan tetap tegak.
[Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kapuas
Raya Indonesia]
[19 September 2024]
Kontak untuk Media:
Maria Putri Anggraini Saragi, S.H.
Koordinator Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
LBH Kapuas Raya Indonesia
[+62 895-3780-05325]