Refleksi Konflik Agraria dan Pengakuan Masyarakat Hukum Adat di Kalbar


Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kapuas Raya Indonesia pada Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia ini merefleksikan 'Perlindungan Hukum dan Pengakuan Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat Berperspektif Hak Asasi dan Hak Ekologi Dasar’, yang juga menjadi Program kami dan perhatian kami terhadap Masyarakat Hukum Adat khususnya di Kalimantan.

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa apabila berbicara terkait masyarakat hukum adat, ada 3 (tiga) masalah utama yaitu konflik agraria, pengakuan terhadap masyarakat adat oleh Negara dan perlindungan bagi pembela HAM (human rights defender) yang menyuarakan perlindungan Masyarakat hukum adat.

Meskipun mereka memiliki hak atas otonomi sebagaimana tercantum dalam Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples), akan tetapi hingga saat ini permasalahan yang dialami oleh Masyarakat hukum adat tak kunjung selesai apalagi kalau kita bicara seperti kasus rempang yang kemarin. 

Penggunaan Istilah “Masyarakat Hukum Adat”

Penggunaan istilah masyarakat hukum adat dan masyarakat adat sendiri masih saja menjadi bahan diskusi di antara para pemerhati lingkungan atau pun penggiat hak asasi manusia (HAM). Belum adanya pengakuan atas masyarakat hukum adat berakibat di antaranya pada perampasan atas tanahnya.

Penggunaan istilah masyarakat hukum adat sudah digunakan sejak dahulu. Berdasarkan beberapa dokumen pemerintah, ketika The United Nations Declaration On The Rights Of Indigenous Peoples (UNDRIP) ditandatangani, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Istilah masyarakat hukum adat diakui dalam konstitusi dan tercantum secara eksplisit dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Meskpun seperti Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang menggunakan istilah masyarakat adat, mengingat menurut mereka tidak semua masyarakat adat memiliki hukum, namun mereka memiliki adat yang secara turun temurun dijalankan sehingga dikhawatirkan jika menggunakan istilah masyarakat hukum adat maka hanya masyarakat adat yang memiliki hukum yang akan dianggap diakui oleh negara.

Kemudian, istilah indigenous people yang digunakan di level internasional, apakah istilah tersebut dapat disamakan dengan istilah masyarakat hukum adat, banyak sekali berbagai definisi tentang indigenous people, akan tetapi menekankan dapat disebut sebagai indigenous people harus memenuhi beberapa unsur seperti yang diungkapkan oleh seorang sosiolog sekaligus antropolog Rodolfo Stavenhagen. Indigenous people memiliki hukum yang disebut dengan hukum adat, kemudian mereka memiliki wilayah adatnya, mereka punya satu tradisi yang dirawat keberlanjutannya secara turun temurun. Hal itu semua sangat sama dengan masyarakat hukum adat.

Masyarakat hukum adat memiliki hak yang sama dengan masyarakat lainnya, hanya saja masyarakat hukum adat memiliki kekhususan tersendiri. Kalau memiliki hak atas tanah, maka masyarakat hukum adat pun juga memilikinya namun konsepnya berbeda dengan hak komunalnya. Perlakuannya di mata hukum juga seharusnya sama, hak mereka wajib diakui, dihormati, dan dilindungi oleh negara dalam proses pendaftarannya terutama diranah teknis.

Sayangnya, mayoritas masyarakat hukum adat di Indonesia belum memperoleh kembali tanah-tanahnya. Ada syarat administratif yang harus dipenuhi terlebih dahulu, seperti diwajibkan adanya peraturan daerah atau produk hukum daerah laiinya yang justru menjadi kendala untuk adanya pengembalian tanah-tanah tersebut.

Tidak Samanya Akses Keadilan dalam Pendaftaran Tanah dan Konflik Agraria serta Kekerasan yang Berkelanjutan

Syarat administrative sebagaimana yang dijelaskan di atas justru menjadi kendala dalam pemenuhan kewajiban negara kepada Masyarakat Hukum Adat. Perlu adanya peninjauan kembali atas pengakuan bersyarat yang bersifat diskriminatif tersebut dan memberatkan masyarakat hukum adat, dikhawatirkan kebijakan tersebut akan semakin memundurkan eksistensi pengakuan formil dari masyarakat hukum adat yang secara materiil dan substansi mereka seharusnya mendapatkan perlakukan khusus atas kekayaan alam dan intelektual yang mereka miliki dari Negara.

Betapa sulit jalan yang harus ditempuh masyarakat hukum adat agar hak-haknya dapat diakui oleh negara. Alasan politis dan alasan ekonomis disinyalisasi menjadi penyebab yang mengganjal mereka. Tidak sedikit wilayah adat yang peruntukannya sudah berpindah tangan, seperti sudah diberikan kepada pemegang Hak Guna Usaha (HGU) atau kepada pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Belum lagi ditambah dengan adanya beberapa kepala daerah yang mencari keuntungan dengan keberadaan HGU dan segala macam urusan-urusan perijinan tersebut.

Beberapa contoh permasalahan hukum dari Masyarakat hukum adat yang ada di Kalbar ini antara lain:

-    Masyarakat Adat Dayak Bakati Riuk Sebalos di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat masih trauma usai peristiwa penangkapan seorang anggota Masyarakat Adat yang ikut aksi damai menolak kehadiran perusahaan sawit di wilayah adat mereka, Anggota Masyarakat Adat dari dusun Sebalos tersebut ditangkap aparat kepolisian tanpa sepengetahuan keluarga.   Ia ditangkap belum lama ini di depan teras warung kopi di Pasar Sanggau Ledo sekitar pukul 23. 00 Wib. Peristiwa penangkapan pria ini berawal dari aksi protes Masyarakat Adat Dayak Bakati Riuk Sebalos terhadap perusahaan sawit PT Ceria Prima yang beroperasi diatas wilayah adat mereka. Sekitar 200 orang yang protes, tiga diantaranya ditangkap tapi hanya satu yang ditahan. Mereka tidak pernah tahu alasan penangkapannya. Mereka bukan perangkat desa maupun pengurus adat. Mereka yang ditangkap hanya warga biasa.

-    Konflik antara masyarakat adat di wilayah Perkebunan PT MAS II di Sanggau telah berlangsung lama. Puncak protes terjadi saat Sime Darby mengambil alih manajemen PT MAS pada tahun 2007, masyarakat adat Dayak Hibun mulai membentuk gerakan perlawanan. Sime Darby merupakan perusahaan raksasa asal Malaysia, pengelolaan minyak sawit mentah Crude Palm Oil (CPO. Sime Darby juga merupakan pendiri sekaligus anggota Roundtable On Sustainable Palm Oil (RSPO). Namun, aksi protes warga berhadapan dengan aparat yang melakukan penangkapan. Desa Kampuh sempat seperti “kampung mati” usai masyarakat di sana menggelar aksi demo. Sebagian besar warga yang berdemo melarikan diri ke hutan karena takut ditangkap aparat keamanan. Lima orang ditangkap polisi, empat di antaranya dihukuman 2 tahun penjara dengan tuduhan sebagai dalang dan memprovokasi agar melawan pihak Perusahaan;

-    Konflik antara masyarakat adat Desa Kualan Hilir, Ketapang, Kalimantan Barat dan perusahaan perkebunan kayu PT Mayawana Persada. Tanah yang digusur ini merupakan kebun karet dan sawit masyarakat dan bawas (bekas ladang), termasuk tempat lokasi situs sakral adat. Pada 26 Juni 2023, masyarakat adat telah mendesak dilakukan pengukuran ulang tanah yang diserobot perusahaan. Mereka juga menuntut perusahaan mengembalikan tanah serta mengganti kerugian tanaman dan kayu yang ditebang oleh PT Mayawana Persada.  Perusahaan kemudian berjanji sebanyak dua kali berjanji untuk menyelesaikan masalah dan membayar sanksi adat yang diputuskan pemangku adat Kualan Hilir. Namun dua pertemuan yang terjadwal pada 28 dan 29 Juni tidak kunjung dipenuhi. 

Jika adanya ribuan konflik sengketa lahan masyarakat hukum adat terjadi karena tidak adanya pengakuan wilayah dari negara, administrasi yang menyulitkan, dan upaya penyelesaian konflik yang lama tidak pernah cukup serius. Penunjukan kawasan hutan tidak ditindaklanjuti dengan penataan data, bagi sebagian orang hal ini merupakan bentuk perampasan tanah oleh negara secara sistematis dan kekeliruan yang sudah banyak terjadi ini harus kita sama-sama perbaiki dan segera terapkan kebijakan baru yang lebih humanis dan melindungi Masyarakat hukum adat.