Tampang
seram, penampilan preman dan berasal dari etnis/kelompok masyarakat tertentu
menjadi ciri khas bagi mereka yang menggeluti jasa penagihan tersebut, adanya
stigma negative terhadap jasa penagihan sendiri muncul akibat dari oknum-oknum
yang melakukan penagihan tidak sesuai pada peraturan yang ada bahkan melakukan
tindak pidana.
Jasa
penagihan atau yang masyarakat umum kenal sebagai Debtcollector sering kali
masih dianggap sebelah mata bagi kebanyakan orang padahal peran mereka cukup
vital bagi perusahaan khususnya perusahaan pembiayaan untuk mengamankan asset
perusahaan atau sebagai upaya meminimalisir kerugian akibat dari debitur yang
melakukan Wanprestasi.
Jasa
penagihan muncul karena banyaknya debitur yang tidak sadar dan kooperatif dalam
menyelesaikan kewajiban mereka meskipun antara kreditur dan debitur sudah diikat
suatu perjanjian/kontrak hukum perdata saat akad kredit dilakukan.
Pada
umumnya perusahaan pembiayaan menggunakan jasa penagihan karena sudah melakukan
rangkaian penagihan scara kooperatif dan menggunakan internal perusahaan namun
tidak ada penyelesaian hingga tidak ada kejelasan penyelesaian kewajiban
pembayaran tersebut. Jasa penagihan merupakan pihak ketiga yang dapat
dipergunakan jasanya oleh perusahaan pembiayaan. Jasa penagihan sendiri sudah
mendapatkan kepastian hukum dan diatur dalam instrument peraturan seperti yang
tertuang pada Pasal 48 ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik
Indonesia Nomor 35 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan
Pembiayaan yang selanjutnya disebut dengan “POJK/35/2018” menyatakan:
“Perusahaan Pembiayaan dapat melakukan kerja sama dengan pihak lain
untuk melakukan fungsi penagihan kepada Debitur.”
Namun
dalam hal kerjasama menggunakan jasa penagihan atau Debtcollector, harus
mengikuti ketentuan yang sudah diregulasikan seperti lketentuan Pasal 48 ayat
(3) POJK/35/2018:
Kerja sama dengan pihak
lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi ketentuan sebagai
berikut:
a. Pihak
lain tersebut berbentuk badan hukum;
b. Pihak
lain tersebut memiliki izin dari instansi berwenang; dan
c. Pihak
lain tersebut memiliki sumber daya manusia yang telah memperoleh sertifikasi di
bidang penagihan dari Lembaga Sertifikasi Profesi di bidang pembiayaan.
Dengan
adanya jaminan hukum aktivitas jasa penagihan tentunya jasa penagihan harus
mematuhin prosedur penagihan sesuai dengan POJK/35/2018, pihak ketiga yang
melakukan penagihan kepada pihak debitur harus wajib membawa sejumlah dokumen
yaitu:
1. Kartu
identitas
2. Sertifikatt
profesi dibidang penagihan dari lembaga sertifikasi di bidang pembiayaan yang terdaftar
OJK,
3. Surat
tugas dari perusahaan pembiayaan
4. Salinan
sertifikat jaminan fidusia,
5. Dan
bukti dokumen debitur wanprestasi.
Seluruh
dokumen itu di gunakan untuk memperkuat aspek legalitas hukum dalam proses
penagihan sehingga mencegah terjadinya sengketa hukum yang timbul karena jasa
penagihan ataupun perusahaan pembiyaan tidak memperhatikan hal POJK tersebut.
Dalam
hal melakukan eksekusi agunan juga diatur dalam Pasal 50 ayat (1) POJK/35/2018
yang berbunyi:
“Eksekusi agunan oleh
Perusahaan Pembiayaan wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. Debitur
terbukti wanprestasi;
b. Debitur
sudah diberikan surat peringatan; dan
c. Perusahaan
Pembiayaan memiliki sertifikat jaminan fidusia, sertifikat hak tanggungan,
dan/atau sertifikat hipotek.”
Dalam
penjelasan di atas cukup jelas bahwa keberadaan jasa penagihan diakui dan
sebagai kegiatan yang Legal selama jasa penagihan menjalankan tugas yang
dikuasakan perusahaan pembiayaan sesuai dengan mekanisme peraturan yang ada dan
tidak melakukan tindakan yang berlawanan dengan hukum seperti menggunakan cara
kekerasan, intimidasi dan mempermalukan nama baik debitur macet tersebut serta
memperhatikan administrasi/dokumen yang dibawa saat melakukan aktivitas
penagihan.