Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kapuas Raya
Indonesia dengan ini menyatakan sikap terkait pembatalan Rancangan
Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Seluruh masyarakat Indonesia pastinya
sangat menyambut baik keputusan DPR RI yang telah membatalkan RUU Pilkada
setelah mendengarkan masukan dari berbagai kalangan, termasuk dari masyarakat
sipil dan organisasi non-pemerintah.
LBH Kapuas Raya Indonesia berpendapat bahwa
pembatalan ini merupakan langkah yang tepat untuk menjaga demokrasi dan
mencegah potensi pelanggaran hak-hak politik warga negara. Kami berharap agar
pembatalan ini diikuti dengan kajian yang lebih komprehensif dan transparan
mengenai sistem pemilihan kepala daerah yang ideal di Indonesia, serta adanya
keterlibatan aktif masyarakat dalam proses pembahasannya.
Analisis LBH Kapuas Raya Indonesia: Apakah KPU Akan Melaksanakan Putusan Mahkamah Agung Nomor 23 P/HUM/2024 atau Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XXII/2024?
Perlu kami tekankan dalam pernyataan sikap ini
bahwa kami tidak akan masuk ke dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024
akan tetapi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XXII/2024. Sebagai
Organisasi Masyarakat Sipil yang disuarakan sampai hari ini adalah yang jelas
mengenai ambang batas usia dari calon kepala daerah baik gubernur dan/atau
bupati atau wali kota, walau pun terkait dengan Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 60/PUU-XXII/2024 kami anggap kami tidak perlu banyak berkomentar
karena ini juga jelas dari amar putusannya walau pun ada Pendapat Berbeda (Dissenting
Opinion) dan Alasan Berbeda (Concurring Opinion), yang jelas putusan
60 ini sudah dikabulkan sebagian. Itu mutlak tidak bisa diapa-apakan, lantas
bagaimana dengan putusan 70? Putusan ini amarnya bukan dikabulkan baik
seluruhnya atau sebagai, akan tetapi permohonan ini ditolak. Kembali digaris
bawahi, permohonan 70 ini ditolak oleh MK.
Hanya saja dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah
Konstitusi menegaskan semua persyaratan calon kepala daerah yang diatur dalam
Pasal 7 UU Pilkada harus dipenuhi sebelum dilakukan penetapan calon kepala
daerah, bukan sebagaimana putusan mahkamah agung yang mengatur batas
minimum usia calon gubernur dan wakil gubernur berumur 30 tahun saat
dilantik sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih pada 7 Februari 2025.
Dalam situasi hukum yang kompleks ini, Komisi
Pemilihan Umum (KPU) berada di tengah dua keputusan hukum yang berbeda: Apakah
akan ikut dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XXII/2024 atau mengakomodasi
Putusan Mahkamah Agung Nomor 23 P/HUM/2024?
Menurut hemat kami, tidak perlu ada debat kusir
mengenai kita harus tunduk juga dengan putusan mahkamah agung, tentu saja
tidak perlu tunduk. Jelas bahwa Putusan MK dan MA memiliki perbedaan yang
mendasar utamanya dalam kewenangan untuk menafsirkan undang-undang. MK
menafsirkan undang-undang apakah UU bertentangan dengan UUD NRI 1945 atau
tidak, sedangkan MA justru hanya menafsirkan suatu peraturan di bawah
undang-undang. Jadi harusnya KPU ikut putusan MK. Jika MK sudah menafsirkan
undang-undang melalui putusannya, maka penafsiran tersebut menjadi lebih kuat
dan harus diutamakan. Dalam konteks ini, aturan yang menetapkan usia bakal
calon pada saat penetapan lebih diutamakan dibandingkan usia bakal calon pada
saat pelantikan, sesuai dengan interpretasi hukum versi MK.
Apabila kemudian hari ada produk hukum atau UU
yang disepakati DPR dan presiden dengan menggunakan norma putusan MA tetap sah.
Namun UU tersebut jelas akan bertentangan dengan penafsiran MK sehingga
berpotensi dimohonkan kembali judicial review ke MK. Ini yang perlu dikawal
secara kritis.
Apa yang sudah diputus oleh MK sudah clean
and clear; final and binding sehingga tidak ada pengingkaran dan penafsiran
lain. Apabila DPR dan pemerintah terkesan ‘memaksa’ dalam hal aturan batas usia
calon gubernur dan wakil gubernur, maka sungguh luar biasa negara ini
mengangkangi demokrasi.
Jadi, kami berpendat bahwa kembali lagi ke UU tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3) sudah jelas mengatur bahwa
putusan MK haruslah ditindaklanjuti oleh DPR dengan cara membuat UU baru.
Hanya saja, pemberlakukan putusan MK memang tidak mensyaratkan adanya perubahan
atau pencabutan atas UU yang direvisi.
Inilah yang namanya kumulatif terbuka, justru
dalam UU P3 yang ditindaklanjuti itu putusan MK, bukan MA. Untuk putusan batas
usia ini MK menolak sehingga tidak harus melakukan apa pun, dalam amarnya
terhadap pasal yang dimohonkan MK lebih kepada penafsiran. Ketika MK sudah
menafsirkan tidak perlu lagi ada penafsiran UU lagi. Karena sudah ditafsirkan
sesuai praktik di tiga pemilu dan seharusnya ditaati oleh pembentuk UU.