Refleksi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 2024

 

Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 merupakan hasil dari perjuangan panjang dan kompleks yang melibatkan berbagai elemen masyarakat, baik dari kalangan politik maupun rakyat biasa.

Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, membacakan teks Proklamasi kemerdekaan bersama Mohammad Hatta. Bendera Merah Putih dikibarkan dengan megah. Berita mengenai kemerdekaan Republik Indonesia kemudian menyebar secara bertahap ke seluruh penjuru negeri, terutama melalui siaran radio.

Berdasarkan catatan A.T. Sugeng Priyanto dan rekan-rekannya dalam buku ajar Pendidikan Kewarganegaraan (2008), proklamasi diartikan sebagai pernyataan kepada seluruh rakyat.

Dalam konteks proklamasi kemerdekaan Indonesia, istilah ini berarti pemberitahuan bahwa negara Indonesia telah resmi merdeka. Pengumuman kemerdekaan tersebut tidak hanya ditujukan kepada rakyat Indonesia, tetapi juga kepada seluruh bangsa di dunia.

Makna yang dapat diambil adalah bahwa pernyataan ini merupakan deklarasi kepada komunitas internasional bahwa bangsa Indonesia telah bebas dari segala bentuk penjajahan.

Dengan demikian, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) secara resmi menjadi negara yang berdaulat dan memiliki kedudukan yang setara dengan bangsa-bangsa lain di dunia internasional.

Mengulik Esensi Kemerdekaan dan Kebebasan Menurut Beberapa Ahli

Menurut Rudolf Steiner, kemerdekaan dan kebebasan adalah dua konsep yang saling terkait namun memiliki nuansa yang berbeda. Kemerdekaan, dalam pandangan Steiner, adalah kondisi di mana individu tidak terikat oleh prinsip-prinsip moral eksternal yang membatasi tindakan mereka. Kemerdekaan menciptakan ruang bagi individu untuk bertindak berdasarkan cinta dan bagian ideal dari diri mereka sendiri, tanpa tekanan dari norma-norma yang membatasi kebebasan mereka.

Kebebasan, menurut Steiner, berhubungan erat dengan kemerdekaan karena hanya dalam keadaan kemerdekaanlah kebebasan internal dapat terwujud. Kebebasan internal ini memungkinkan individu untuk mengikuti prinsip-prinsip yang mereka pilih sendiri, yang muncul dari pemikiran ideal mereka. Dengan kata lain, kebebasan bukan sekadar ketiadaan hambatan eksternal, tetapi juga mencakup kemampuan untuk bertindak sesuai dengan panduan batin yang ideal.

Sebagaimana bukunya yang berjudul “The Philosophy of Freedom”, (London – England: Rudolf Steiner Press, 2015) menyebutkan konsep “Ein freies Wesen kann er nur selbst aus sich machen,” yang berarti "Sebuah makhluk bebas hanya dapat membuat dirinya sendiri menjadi bebas," menggarisbawahi ide bahwa kebebasan sejati tidak datang dari luar, melainkan dari kemampuan individu untuk menciptakan dan menentukan kebebasan mereka sendiri. Dalam konteks ini, kemerdekaan menyediakan fondasi yang diperlukan untuk kebebasan internal tersebut. Tanpa kemerdekaan dari kekuatan eksternal dan norma yang mengikat, individu tidak dapat sepenuhnya mengaktualisasikan kebebasan yang muncul dari dalam diri mereka sendiri.

Dengan demikian, bagi Steiner, kemerdekaan adalah prasyarat bagi kebebasan. Kemerdekaan memberi individu ruang untuk menentukan dan mengikuti prinsip pribadi mereka, sedangkan kebebasan adalah hasil dari kemampuan mereka untuk bertindak sesuai dengan panduan internal yang mereka pilih sendiri. Konsep ini menekankan bahwa kebebasan sejati adalah proses aktif dalam pembentukan diri yang hanya dapat dicapai ketika individu memiliki kemerdekaan untuk mengekspresikan dan mewujudkan prinsip ideal mereka.

Kemudian, menurut Sartre, kebebasan bukan hanya tentang kemampuan untuk bertindak tanpa paksaan, tetapi juga tentang kemampuan untuk menciptakan makna dan menentukan arah hidup secara mandiri. Ini dapat dikaitkan dengan pernyataannya bahwa “Never have we been as free as during the German occupation,” yang menunjukkan bahwa dalam situasi ekstrem dan tertekan, individu mungkin merasakan kebebasan yang mendalam melalui pemilihan dan tindakan melawan keadaan yang menindas. Ini menyoroti bahwa kebebasan sejati sering kali ditemukan dalam konteks di mana individu secara aktif menentang batasan eksternal.

Dalam artikel “Jean-Paul Sartre: Existential Freedom and the Political” di E-International Relations, Sartre dijelaskan sebagai pendukung kebebasan sebagai aspek esensial dari identitas manusia dan tindakan politik. Sartre berpendapat bahwa kebebasan eksistensial melibatkan lebih dari sekadar ketiadaan batasan; ia juga terkait dengan kemampuan individu untuk menentukan nilai-nilai dan tujuan hidup mereka sendiri, bahkan dalam situasi yang tampaknya tidak bebas. Dalam hal ini, kebebasan adalah kondisi yang melampaui kemerdekaan eksternal dan mencakup kapasitas untuk bertindak berdasarkan pilihan otentik yang diciptakan oleh individu sendiri.

Sedangkan, John Locke dalam Two Treatises of Government menyatakan bahwa kemerdekaan atau kebebasan pribadi adalah hak alamiah yang melekat pada setiap individu dan tidak boleh dilanggar oleh pihak lain. Menurut Locke, kemerdekaan berarti kebebasan dari kekuasaan yang tidak sah atau tirani, memberikan individu hak untuk hidup, kebebasan, dan properti. Locke berpendapat bahwa kebebasan melibatkan kemampuan untuk bertindak sesuai dengan kehendak pribadi, selama tindakan tersebut tidak mengganggu hak orang lain. Dengan demikian, kemerdekaan merupakan prasyarat fundamental bagi kebebasan individu dalam konteks sosial dan politik.

Dan, John Stuart Mill dalam “On Liberty” menekankan pentingnya kebebasan individu dalam konteks utilitarianisme. Menurut Mill, kebebasan merupakan elemen kunci untuk mencapai kebahagiaan dan kemajuan masyarakat. Ia berargumen bahwa individu harus memiliki kebebasan untuk mengejar kepentingan pribadi mereka, asalkan tindakan tersebut tidak merugikan orang lain. Dalam pandangan Mill, kemerdekaan berarti kondisi di mana individu tidak tertekan oleh kekuasaan atau norma-norma sosial yang membatasi kebebasan mereka dalam mencari kebahagiaan dan perkembangan pribadi.

Selain itu Perang Dunia II dan peristiwa-peristiwa besar seperti pengeboman Hiroshima dan Nagasaki menunjukkan dampak destruktif dari kekuasaan imperialis dan menciptakan ketidakstabilan global. Kemenangan Sekutu atas Jepang dan kejatuhan kekuasaan kolonialisme Barat di Asia memberikan kesempatan bagi bangsa-bangsa yang terjajah untuk meraih kemerdekaan. Dalam konteks Indonesia, peristiwa ini mempercepat proses menuju kemerdekaan.

Kemudian, peristiwa Renggasdengklok pada 16 Agustus 1945 menunjukkan ketegangan antara kelompok-kelompok yang menginginkan kemerdekaan segera dan mereka yang masih mempertimbangkan situasi global dan politik. Keterlibatan pemuda atau orang-orang muda yang menekankan urgensi untuk bertindak dan momen keputusan yang tidak dapat ditunda lagi. Keberanian dan tindakan kelompok-kelompok ini mencerminkan semangat Sartre tentang kebebasan eksistensial, di mana keputusan untuk merdeka harus diambil secara aktif dan penuh tanggung jawab.

Akhirnya, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 adalah perwujudan kemerdekaan sebagai kondisi di mana bangsa Indonesia dapat menentukan nasib mereka sendiri, bebas dari tekanan dan kekuasaan kolonial.

Kaitan antara kemerdekaan Indonesia dan pemikiran filosofis serta peristiwa sejarah menunjukkan bagaimana kemerdekaan bukan hanya tentang ketiadaan penindasan, tetapi juga tentang kemampuan untuk menentukan arah dan makna hidup secara mandiri. Proklamasi 17 Agustus 1945 menandai momen kebebasan yang mendalam bagi bangsa Indonesia, memungkinkan mereka untuk menerapkan prinsip-prinsip kemerdekaan dan kebebasan yang diuraikan.

Peristiwa global dan lokal yang terjadi sebelum proklamasi mempercepat dan menguatkan tekad untuk meraih kemerdekaan, menggarisbawahi pentingnya kebebasan dalam pembangunan dan kemajuan sebuah bangsa.