Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus
1945 merupakan hasil dari perjuangan panjang dan kompleks yang melibatkan
berbagai elemen masyarakat, baik dari kalangan politik maupun rakyat biasa.
Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno,
membacakan teks Proklamasi kemerdekaan bersama Mohammad Hatta. Bendera Merah
Putih dikibarkan dengan megah. Berita mengenai kemerdekaan Republik Indonesia
kemudian menyebar secara bertahap ke seluruh penjuru negeri, terutama melalui
siaran radio.
Berdasarkan catatan A.T. Sugeng Priyanto dan
rekan-rekannya dalam buku ajar Pendidikan Kewarganegaraan (2008),
proklamasi diartikan sebagai pernyataan kepada seluruh rakyat.
Dalam konteks proklamasi kemerdekaan Indonesia,
istilah ini berarti pemberitahuan bahwa negara Indonesia telah resmi merdeka.
Pengumuman kemerdekaan tersebut tidak hanya ditujukan kepada rakyat Indonesia,
tetapi juga kepada seluruh bangsa di dunia.
Makna yang dapat diambil adalah bahwa pernyataan
ini merupakan deklarasi kepada komunitas internasional bahwa bangsa Indonesia
telah bebas dari segala bentuk penjajahan.
Dengan demikian, Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) secara resmi menjadi negara yang berdaulat dan memiliki
kedudukan yang setara dengan bangsa-bangsa lain di dunia internasional.
Mengulik Esensi Kemerdekaan dan Kebebasan Menurut Beberapa Ahli
Menurut Rudolf Steiner, kemerdekaan dan
kebebasan adalah dua konsep yang saling terkait namun memiliki nuansa yang
berbeda. Kemerdekaan, dalam pandangan Steiner, adalah kondisi di mana individu
tidak terikat oleh prinsip-prinsip moral eksternal yang membatasi tindakan
mereka. Kemerdekaan menciptakan ruang bagi individu untuk bertindak berdasarkan
cinta dan bagian ideal dari diri mereka sendiri, tanpa tekanan dari norma-norma
yang membatasi kebebasan mereka.
Kebebasan, menurut Steiner, berhubungan erat
dengan kemerdekaan karena hanya dalam keadaan kemerdekaanlah kebebasan internal
dapat terwujud. Kebebasan internal ini memungkinkan individu untuk mengikuti
prinsip-prinsip yang mereka pilih sendiri, yang muncul dari pemikiran ideal
mereka. Dengan kata lain, kebebasan bukan sekadar ketiadaan hambatan eksternal,
tetapi juga mencakup kemampuan untuk bertindak sesuai dengan panduan batin yang
ideal.
Sebagaimana bukunya yang berjudul “The
Philosophy of Freedom”, (London – England: Rudolf Steiner Press, 2015)
menyebutkan konsep “Ein freies Wesen kann er nur selbst aus sich machen,”
yang berarti "Sebuah makhluk bebas hanya dapat membuat dirinya sendiri
menjadi bebas," menggarisbawahi ide bahwa kebebasan sejati tidak datang
dari luar, melainkan dari kemampuan individu untuk menciptakan dan menentukan
kebebasan mereka sendiri. Dalam konteks ini, kemerdekaan menyediakan fondasi
yang diperlukan untuk kebebasan internal tersebut. Tanpa kemerdekaan dari
kekuatan eksternal dan norma yang mengikat, individu tidak dapat sepenuhnya
mengaktualisasikan kebebasan yang muncul dari dalam diri mereka sendiri.
Dengan demikian, bagi Steiner, kemerdekaan
adalah prasyarat bagi kebebasan. Kemerdekaan memberi individu ruang untuk
menentukan dan mengikuti prinsip pribadi mereka, sedangkan kebebasan adalah
hasil dari kemampuan mereka untuk bertindak sesuai dengan panduan internal yang
mereka pilih sendiri. Konsep ini menekankan bahwa kebebasan sejati adalah
proses aktif dalam pembentukan diri yang hanya dapat dicapai ketika individu
memiliki kemerdekaan untuk mengekspresikan dan mewujudkan prinsip ideal mereka.
Kemudian, menurut Sartre, kebebasan bukan hanya
tentang kemampuan untuk bertindak tanpa paksaan, tetapi juga tentang kemampuan
untuk menciptakan makna dan menentukan arah hidup secara mandiri. Ini dapat
dikaitkan dengan pernyataannya bahwa “Never have we been as free as during the
German occupation,” yang menunjukkan bahwa dalam situasi ekstrem dan tertekan,
individu mungkin merasakan kebebasan yang mendalam melalui pemilihan dan
tindakan melawan keadaan yang menindas. Ini menyoroti bahwa kebebasan sejati
sering kali ditemukan dalam konteks di mana individu secara aktif menentang
batasan eksternal.
Dalam artikel “Jean-Paul Sartre: Existential
Freedom and the Political” di E-International
Relations, Sartre dijelaskan sebagai pendukung kebebasan sebagai aspek
esensial dari identitas manusia dan tindakan politik. Sartre berpendapat bahwa
kebebasan eksistensial melibatkan lebih dari sekadar ketiadaan batasan; ia juga
terkait dengan kemampuan individu untuk menentukan nilai-nilai dan tujuan hidup
mereka sendiri, bahkan dalam situasi yang tampaknya tidak bebas. Dalam hal ini,
kebebasan adalah kondisi yang melampaui kemerdekaan eksternal dan mencakup
kapasitas untuk bertindak berdasarkan pilihan otentik yang diciptakan oleh
individu sendiri.
Sedangkan, John Locke dalam Two Treatises of
Government menyatakan bahwa kemerdekaan atau kebebasan pribadi adalah hak
alamiah yang melekat pada setiap individu dan tidak boleh dilanggar oleh pihak
lain. Menurut Locke, kemerdekaan berarti kebebasan dari kekuasaan yang tidak
sah atau tirani, memberikan individu hak untuk hidup, kebebasan, dan properti.
Locke berpendapat bahwa kebebasan melibatkan kemampuan untuk bertindak sesuai
dengan kehendak pribadi, selama tindakan tersebut tidak mengganggu hak orang
lain. Dengan demikian, kemerdekaan merupakan prasyarat fundamental bagi
kebebasan individu dalam konteks sosial dan politik.
Dan, John Stuart Mill dalam “On Liberty” menekankan
pentingnya kebebasan individu dalam konteks utilitarianisme. Menurut Mill,
kebebasan merupakan elemen kunci untuk mencapai kebahagiaan dan kemajuan
masyarakat. Ia berargumen bahwa individu harus memiliki kebebasan untuk
mengejar kepentingan pribadi mereka, asalkan tindakan tersebut tidak merugikan
orang lain. Dalam pandangan Mill, kemerdekaan berarti kondisi di mana individu
tidak tertekan oleh kekuasaan atau norma-norma sosial yang membatasi kebebasan
mereka dalam mencari kebahagiaan dan perkembangan pribadi.
Selain itu Perang Dunia II dan
peristiwa-peristiwa besar seperti pengeboman Hiroshima dan Nagasaki menunjukkan
dampak destruktif dari kekuasaan imperialis dan menciptakan ketidakstabilan
global. Kemenangan Sekutu atas Jepang dan kejatuhan kekuasaan kolonialisme Barat
di Asia memberikan kesempatan bagi bangsa-bangsa yang terjajah untuk meraih
kemerdekaan. Dalam konteks Indonesia, peristiwa ini mempercepat proses menuju
kemerdekaan.
Kemudian, peristiwa Renggasdengklok pada 16
Agustus 1945 menunjukkan ketegangan antara kelompok-kelompok yang menginginkan
kemerdekaan segera dan mereka yang masih mempertimbangkan situasi global dan
politik. Keterlibatan pemuda atau orang-orang muda yang menekankan urgensi
untuk bertindak dan momen keputusan yang tidak dapat ditunda lagi. Keberanian
dan tindakan kelompok-kelompok ini mencerminkan semangat Sartre tentang
kebebasan eksistensial, di mana keputusan untuk merdeka harus diambil secara
aktif dan penuh tanggung jawab.
Akhirnya, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada
17 Agustus 1945 adalah perwujudan kemerdekaan sebagai kondisi di mana bangsa
Indonesia dapat menentukan nasib mereka sendiri, bebas dari tekanan dan
kekuasaan kolonial.
Kaitan antara kemerdekaan Indonesia dan pemikiran
filosofis serta peristiwa sejarah menunjukkan bagaimana kemerdekaan bukan hanya
tentang ketiadaan penindasan, tetapi juga tentang kemampuan untuk menentukan
arah dan makna hidup secara mandiri. Proklamasi 17 Agustus 1945 menandai momen
kebebasan yang mendalam bagi bangsa Indonesia, memungkinkan mereka untuk
menerapkan prinsip-prinsip kemerdekaan dan kebebasan yang diuraikan.
Peristiwa global dan lokal yang terjadi sebelum proklamasi mempercepat dan menguatkan tekad untuk meraih kemerdekaan, menggarisbawahi pentingnya kebebasan dalam pembangunan dan kemajuan sebuah bangsa.