Desak Transparansi, LBH KRI: Kasus Bunuh Diri dr. Aulia Harus Diungkap Demi Perlindungan dari Kekerasan Berbasis Gender

 

Pontianak - Kematian tragis dr. Aulia Risma Lestari (30), seorang dokter muda Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (FK UNDIP), menuai sorotan tajam. Meskipun Siaran Pers dari FK Undip pada 15 Agustus 2024 membantah adanya perundungan, berbagai pihak, termasuk LBH Kapuas Raya Indonesia, menilai perlunya investigasi mendalam dan transparan dalam mengungkap kebenaran kasus ini. Kekhawatiran bahwa kasus ini ditutup-tutupi kian mencuat, seiring dengan panggilan untuk memastikan perlindungan HAM dan keadilan dalam dunia pendidikan dan kesehatan.

Berikut Siaran Pers dari UNDIP

Maria Putri Anggraini Saragi, S.H., Koordinator Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak LBH Kapuas Raya Indonesia, menyampaikan keprihatinan mendalam atas respons institusi pendidikan yang dinilai oleh masyarakat belum sepenuhnya transparan dalam menangani kasus ini.

“Sebagai lembaga yang memiliki tanggung jawab besar dalam mencetak tenaga medis, FK UNDIP diharapkan lebih sensitif dan responsif terhadap isu-isu kekerasan berbasis gender, terutama dalam lingkungan pendidikan," ungkapnya dari Kantor LBH Kapuas Raya Indonesia melalui Siaran Pers LBH KRI, di Pontianak (15/08/2024).

Maria juga menegaskan pentingnya memastikan perlindungan terhadap perempuan di dunia pendidikan dan profesi, terutama di sektor kesehatan, berkaitan erat dengan tanggung jawab institusi pendidikan dan profesional untuk menciptakan lingkungan yang aman, adil, dan bebas dari diskriminasi maupun kekerasan. Dalam konteks ini, perlindungan tersebut tidak hanya mencakup tindakan preventif, tetapi juga tanggapan yang tegas dan tepat jika terjadi pelanggaran.

“Pada level pendidikan, khususnya di bidang kedokteran, mahasiswa atau tenaga medis perempuan kerap menghadapi tantangan ganda berupa tekanan akademik yang tinggi dan risiko mengalami diskriminasi atau kekerasan, baik secara verbal, fisik, maupun mental. Jika dibiarkan, kondisi ini dapat mengarah pada pelemahan semangat dan mental korban, bahkan membahayakan keselamatan mereka,” ungkap Maria.

Oleh karena itu, jelas Maria, komitmen untuk melindungi perempuan di sektor pendidikan dan profesi kesehatan harus diwujudkan melalui kebijakan yang jelas, prosedur pelaporan yang aman, dan mekanisme penanganan yang adil dan transparan. Hal ini melibatkan pengawasan dan penegakan kode etik; sosialisasi dan edukasi berkelanjutan; proses penegakan hukum yang transparan dan tidak memihak apabila memang ada dugaan tindak pidana di sana; dan dukungan psikologis dan legal bagi korban.

Senada dengan Maria, Ester Dwilyana Sari, S.H., Koordinator Hukum dan HAM LBH Kapuas Raya Indonesia, menyoroti pentingnya penegakan hukum yang adil dan transparan dalam kasus ini.

“Kami mendorong adanya penyelidikan hukum secara menyeluruh untuk memastikan apakah benar tidak ada terjadi dugaan tindak pidana dalam bentuk kekerasan atau perundungan terhadap korban atau ada arah terkait dugaan tersebut, ini butuh keseriusan dan komitmen” tegas Ester.

Ia juga menambahkan bahwa hasil investigasi harus diumumkan secara terbuka agar tidak menimbulkan spekulasi di masyarakat.

“Pentingnya hasil investigasi diumumkan secara terbuka adalah untuk mencegah spekulasi yang dapat merusak kepercayaan publik mengingat UNDIP merupakan satu di antara universitas terbaik di Indonesia. Kemudian, mengenai transparansi memastikan bahwa proses hukum berjalan adil dan akuntabel, terutama dalam isu sensitif seperti kekerasan berbasis gender,” jelas Ester.

Ester pun menutup keterangannya dengan menyampaikan bahwa tanpa keterbukaan, komitmen institusi terhadap perlindungan hak asasi manusia hanya menjadi slogan kosong. Evaluasi berkelanjutan, ruang untuk kritik, dan tanggapan yang jujur adalah kunci agar keadilan dan integritas benar-benar terjaga di lingkungan pendidikan dan profesi kesehatan.

Siaran Pers LBH KRI 15 Agustus 2024.