Pontianak
– Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kapuas Raya Indonesia
menyoroti kembali putusan anomali yang lagi-lagi dibuat oleh Majelis Hakim dari
Pengadilan Negeri (PN) Surabaya yang diketuai oleh Erintuah Damanik, Mangapul
dan Heru Hanindyo sebagai Hakim Anggota sebagaimana Putusan Pengadilan Negeri
Surabaya Nomor 454/Pid.B/2024/PN Sby, tanggal 24 Juli 2024.
“Inilah
yang selalu menjadi hal yang kami suarakan bahwa pelindungan terhadap Korban di
Indonesia secara komprehensif bisa dibilang masih jauh panggang daripada api.
Penegakan hukum yang selama ini dipertontonkan aparat penegak hukum cenderung
lebih memperhatikan Pelaku atau Tersangka,” ungkap, Maria Putri Anggraini
Saragi, S.H., selaku Koordinator Perlindungan Perempuan dan Anak Lembaga
Bantuan Hukum (LBH) Kapuas Raya Indonesia di Pontianak (25/07/2024).
Menurut
Maria, Korban masih belum mendapatkan pelayanan dan penyikapan yang optimal
dari penegak hukum, demikian juga dari pemerintah, apalagi dari masyarakat pada
umumnya. Seringkali malah yang terjadi adalah reviktimisasi atau double
viktimization. Dimana Korban kejahatan setelah terviktimisasi kemudian
menjadi Korban (re-viktimized) lagi akibat penyikapan aparat hukum yang tidak
tepat dan tidak menegakkan hukum itu secara optimal.
Maria
juga membacakan Amar putusan dari Majelis Hakim tersebut yang menyatakan
Terdakwa Gregorius Ronald Tannur Anak Dari Edward Tannur tersebut
di atas, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan Pertama, Pasal 338 KUHP
atau Dakwaan Kedua Pasal 351 ayat (3) KUHP atau Dakwaan Ketiga, Kesatu Pasal 359 KUHP
dan Kedua Pasal 351 ayat (1) KUHP. Kemudian, disebutkan membebaskan Terdakwa
oleh karena itu dari seluruh dakwaan Penuntut Umum tersebut diatas dan memerintahkan
Terdakwa dibebaskan dari tahanan segera setelah putusan ini diucapkan serta memulihkan
hak-hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya.
“Bayangkan
dari amar putusan di atas saja sudah jelas dan sangat menyakitkan untuk
didengarkan bahwa majelis hakim mengabaikan fakta-fakta yang terungkap di
persidangan mengenai apa yang sebenarnya terjadi pada Dini Sera Afrianti
(Korban dan sekaligus Perempuan) yang mana dalam pertimbangannya Majelis
menyatakan tidak ada saksi yang
menyatakan satu pun penyebab kematian dari korban Dini dan kedua majelis hakim
menilai kematian Dini bukan karena disebabkan penganiayaan Ronald. Tapi karena
alkohol yang dikonsumsi sebelumnya,” jelas Maria.
Maria
juga menyampaikan agar pihak keluarga korban atau pihak yang berkepentingan
lainnya untuk melaporkan majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ke
MARI dan KYRI agar dapat diperiksa karena putusan ini sangat tidak mencerminkan
nilai-nilai keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.
Di sisi
lain, Ester Dwilyana Sari, S.H., selaku Koordinator Hukum dan Hak Asasi Manusia
(HAM) Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kapuas Raya Indonesia juga berkomentar Fair
Trial merupakan perwujudan hak asasi untuk siapapun yang sedang diadili
untuk memperoleh perlakuan yang jujur dan adil sepanjang proses peradilan.
Prinsip dan prosedur Fair Trial merupakan hak atas peradilan yang adil yang
hanya akan memenuhi maksudnya apabila yang tengah didakwa adalah mereka yang
berkedudukan marjinal dan dengan sistem pengadilan inkuisitor bukan dengan
sistem peradilan yang akusatur di mana hakim menyerahkan kebenaran materiil
perkara sepenuhnya kepada pihak-pihak yang berperkara.
“Setiap
negara demokrasi menjamin Hak Asasi Manusia (HAM) dalam konstitusinya kepada
setiap warga negara, ini kita sepakati bersama, yang salah satu wujudnya hak
atas kemandirian peradilan sebagai sarana penegakan hukum (law enforcement).
Akan tetapi, penting dicatat bahwa oleh karena tujuan yang mulia ini diharapkan
peradilan ini dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman dalam penegakan hukum
harus benar-benar memperhatikan setiap detail fakta, kebenaran, dan alat bukti
yang diperiksa,” terang Ester.
Ester menutup
dengan pernyataan bahwa pihaknya sangat mendukung pelaporan ke KY dan Bawas
MARI.