Mengenal Lebih Dekat mengenai Lembaga Bantuan Hukum (LBH)

 

Sejarah Bantuan Hukum

Asal usul bantuan hukum di Eropa diperkirakan dimulai pada tahun 451 yang mana ketika Konsili Kalsedon meresmikan kebijakan Gereja Katolik kala itu yang menyatakan bahwa pastor harus memberikan nasihat hukum dan menjadi perwakilan hukum kepada para janda, anak yatim, dan orang lain yang membutuhkan dan itu tercantum juga dalam Decretum Gratiani.[1]

Decretum Gratiani dikenal sebagai sebuah kumpulan teks hukum kanon yang dikompilasikan dan ditulis pada abad ke-12 sebagai buku pelajaran hukum oleh seorang yuris yang dikenal sebagai Gratian. Dari enam teks hukum, yang secara bersamaan dikenal sebagai Corpus Juris Canonici. Karya tersebut dipakai untuk menegaskan tanggung jawab para uskup untuk membantu orang miskin dengan masalah hukum mereka.[2]

Thomas Aquinas bahkan membuat pertanyaan dalam Summa Theologiae (1265–1274), yang menyamakan bantuan hukum kepada orang miskin dengan tindakan belas kasihan (act of mercy). Menurutnya bukankah dalam memberikan bantuan hukum kepada orang miskin merupakan tanggung jawab moral seorang advokat; namun, seseorang tidak dapat mewajibkan seorang advokat hanya memberikan bantuan hukum cuma-cuma.

Argumentasi Aquinas ini sejalan dengan sejarah hukum pada zaman Yunani Kuno bahwa seorang Advokat dapat digambarkan sebagai seorang orator handal di Kota Athena. Orator Athena ini menghadapi kendala struktural yang serius kala itu. Masalah pertama, ada aturan yang berlaku kala itu yang menjelaskan bahwa individu harus mengajukan kasus mereka sendiri di muka sidang, kemudian ketika mereka sudah melewati proses yang ada dikarenakan hasilnya yang belum memuaskan maka mereka dapat meminta bantuan “teman” atau “ditemankan” di muka sidang.[3]

Masalah Kedua, ini yang lebih serius, persoalan yang tidak pernah sepenuhnya dapat diatasi oleh orator Athena, adalah aturan bahwa tidak ada seorang pun yang dapat mengambil bayaran atas pembelaannya terhadap tujuan atau kepentingan hukum orang lain. Undang-undang yang berlaku pada zaman Yunani Kuno saat itu secara luas mengabaikan dalam praktiknya bahwa orator tidak akan pernah dapat menampilkan diri sebagai seorang yang profesional atau ahli hukum.[4]

Penetapan terhadap profesi yang mulia ini dengan menghargai Advokat pun dalam sejarahnya baru diakui pada zaman Romawi Kuno di mana Kaisar Claudius saat itu pun menghapus larangan pengenaan biaya dan mengesahkan peran advokasi sebagai sebuah profesi yang diakui dan mengizinkan para pengacara Romawi kala itu menjadi pengacara pertama yang dapat berpraktik secara terbuka—tetapi ia juga tetap memberlakukan batas biaya sebesar 10.000 sesterces yang dapat dikenakan terhadap masyarakat. (John A. Crook: 1967)

Sejarah Lembaga Bantuan Hukum di Indonesia

Di Indonesia bantuan hukum sudah ada sejak tahun 1500 M, bersamaan dengan datangnya bangsa Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda ke Indonesia. Pada awal perkembangannya bantuan hukum ini merupakan manifestasi dari sikap kedermawanan (charity) yang umumnya dilakukan oleh patron kepada klien. Kemudian bantuan hukum berkembang sejalan dengan perkembangan profesi hukum menjadi kedermawanan profesi, yang selanjutnya profesi bantuan hukum menjadi professional responsibility (tanggungjawab profesi). Dalam perkembangan selanjutnya menjadi tanggung jawab sosial yang diselesaikan tidak hanya masalah hukum yang litigasi, tetapi juga non-litigasi.

Pandangan Ahli Memahami Bantuan Hukum

Suatu penelitian yang mendalam tentang sejarah pertumbuhan program bantuan hukum atau advokat dilakukan oleh Mauro Cippelleti, yang dikutip oleh Adnan Buyung Nasution yang mengatakan bahwa: “Program bantuan hukum kepada si miskim telah dimulai sejak zaman Romawi. Juga ternyata bahwa pada tiap zaman, arti dan tujuan pemberian bantuan hukum kepada si miskin erat hubungannya dengan nilai-nilai moral, pandangan politik dan falsafah hukum yang berlaku ”.[5]

Apa itu Lembaga Bantuan Hukum?

Menurut M. Yahya Harahap, Lembaga Bantuan Hukum memiliki beberapa pengertian untuk dapat didefinisikan, antara lain:

-      Pertama, Legal Aid yang berarti suatu pemberian jasa di bidang hukum oleh suatu organisasi atau lembaga kepada seseorang yang terlibat dalam suatu kasus atau perkara. Pada legal aid ini pemberian jasa atau bantuan hukum yang menekankan pada pemberian secara cuma-cuma dan lebih dikhususkan bagi masyarakat tidak mampu pada lapisan masyarakat miskin.[6]

-      Kedua, Legal Assistance, pada jenis jasa hukum legal assistance mengandung pengertian yang lebih luas daripada legal aid, karena pada legal assistance selain memberikan jasa bantuan hukum bagi mereka yang mampu membayar prestasi juga memberikan jasa bantuan hukum secara cuma-cuma bagi masyarakat miskin yang tidak mampu membayar prestasi;

-      Ketiga, Legal Service, konsep dan makna dalam legal service lebih luas dibandingkan dengan konsep dan tujuan legal aid dan legal assistance, karena pada legal service terkandung makna dan tujuan:

1.   memberi bantuan hukum kepada masyarakat dengan tujuan untuk menghapus perilaku diskriminatif dalam memberikan bantuan hukum bagi masyarakat berpenghasilan kecil dengan masyarakat kaya yang menguasai sumber dana dan posisi kekuasaan (adanya keseimbangan);

2.   memberi pelayanan hukum bagi yang membutuhkan guna mewujudkan kebenaran hukum itu sendiri oleh aparat penegak hukum dengan jalan menghormati hak asasi yang telah dijamin oleh hukum tanpa memandang perbedaan golongan kaya maupun golongan miskin;

3.   pemberian bantuan hukum dalam legal service cenderung menghendaki penyelesaian perkara dengan jalan mengutamakan cara perdamaian.

Pengertian Lembaga Bantuan Hukum Menurut UU

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum yang selanjutnya disebut dengan “UU tentang Bantuan Hukum”, Lembaga Bantuan Hukum atau LBH adalah salah satu pemberi bantuan hukum. Sebagaimana Pasal 1 angka 3 UU tentang Bantuan Hukum mendefinisikan pemberi bantuan hukum adalah lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan bantuan hukum berdasarkan undang-undang.

Tujuan Lembaga Bantuan Hukum

Tujuan dari penyelenggaraan bantuan hukum yang mana termasuk pula sebagai tugas LBH adalah sebagai berikut:

-      menjamin dan memenuhi hak bagi penerima bantuan hukum untuk mendapatkan akses keadilan;

-      mewujudkan hak konsultasi segala warga negara sesuai dengan prinsip persamaan kedudukan di dalam hukum;

-      menjamin kepastian penyelenggaraan bantuan hukum dilaksanakan secara merata di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia; dan

-      mewujudkan peradilan yang efektif, efisien, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Semangat Acces to Justice and Justice For All

Setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum (equality before the law) sebagaimana dijamin Pasal 27 ayat (1) UUD NRI 1945, hak untuk memperoleh keadilan (access to justice) dalam proses peradilan adalah salah satu wujudnya. Selama ini, hak itu lebih dipunyai oleh mereka yang disebut “the have”, sedangkan yang “the have not” terutama bagi korban kejahatan, seringkali terabaikan. Kedudukan korban dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP) seringkali terabaikan, meskipun secara formal sudah diwakili oleh negara.

Poin-Poin Penting Akses Keadilan untuk Semua

1.   Pemenuhan Hak Asasi Manusia

-      Akses terhadap keadilan adalah hak fundamental yang diakui secara internasional dan nasional;

-      Memberikan warga negara kesempatan untuk melindungi hak-hak mereka melalui jalur hukum.

2.    Kesetaraan di Hadapan Hukum

-    Mengurangi kesenjangan antara kelompok masyarakat yang berbeda;

-     Memastikan bahwa semua individu, tanpa memandang status ekonomi atau sosial, mendapatkan perlakuan yang adil di mata hukum.

3.    Mencegah Ketidakadilan dan Penyalahgunaan Kekuasaan

-      Mengurangi risiko penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak-pihak yang berwenang;

-      Menjamin bahwa prosedur hukum dijalankan dengan transparan dan adil.

4.    Meningkatkan Kepercayaan Publik terhadap Sistem Peradilan

-     Memberikan keyakinan kepada masyarakat bahwa sistem peradilan dapat diandalkan;

-     Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses hukum.

5.    Perlindungan terhadap Kelompok Rentan

-    Memberikan perlindungan hukum bagi kelompok masyarakat yang rentan, termasuk kaum miskin, perempuan, anak-anak, dan penyandang disabilitas;

-     Meningkatkan akses mereka terhadap layanan hukum.

6.    Mendorong Pembangunan Sosial dan Ekonomi

-     Stabilitas hukum mendorong investasi dan pembangunan ekonomi;

-     Meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui penegakan hukum yang efektif.

7.    Mencegah dan Mengatasi Konflik

-     Meningkatkan mekanisme penyelesaian sengketa secara damai;

-     Mengurangi potensi konflik yang dapat timbul dari ketidakadilan.

Syarat Pembentukan Lembaga Bantuan Hukum

Pelaksanaan bantuan hukum dilakukan oleh pemberi bantuan hukum yang telah memenuhi syarat yang meliputi:

a.    berbadan hukum;

b.    terakreditasi berdasarkan UU 16/2011;

c.    memiliki kantor atau sekretariat yang tetap;

d.    memiliki pengurus; dan memiliki program bantuan hukum. (vide Pasal 8 UU tentang Bantuan Hukum)


[1] Felice Batlan Marianne Vasara-Aaltonen, “Histories of Legal Aid A Comparative and International Perspective”, ( Finland: Palgrave Macmillan, 2021, p. 3)

[2] Ibid.

[3] Robert J. Bonner, “Lawyers and Litigants in Ancient Athens: The Genesis of the Legal Profession”, (New York: Benjamin Blom, 1927), p. 56.

[4] Ibid.

[5] Soerjono Soekanto,”Bantuan Hukum Suatu Tinjauan Sosio Yuridis”, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1983 , p. 3.

[6] Darman Prints, “Hukum Acara Pidana Dalam Praktek”, (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2002), p.102