Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kapuas Raya Indonesia (KRI) menghadiri Kegiatan yang diselenggarakan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM RI) Perwakilan Kalimantan Barat (Kalbar) pada hari kamis, 25 Juli 2024 dengan nama kegiatan “Diseminasi Pemajuan dan Penegakan HAM di Kalimantan Barat”. Berikut dokumentasinya:
Secara umum, diseminasi Hak Asasi Manusia (HAM) itu lebih kepada memberikan informasi singkat atau sosialisasi terkait tentang informasi umum mengenai isu-isu dalam Hak Asasi Manusia (HAM) yang mana dari tujuan kegiatan ini sesuai dengan undangan agar Masyarakat dapat memahami tugas dan fungsi Lembaga Komnas HAM serta mendapatkan informasi terbaru dari (kami) sebagai peserta terkait isu-isu pelanggaran HAM yang terjadi di Kalimantan Barat.
Pertama, yang kami
pahami mengenai HAM itu sendiri dibagi menjadi 3 (tiga) generasi makanya ada
istilah yang dikenal dengan “Three generations of human rights”, antara
lain mencakup:
ü First
Generation:
mengenai Hak Sipil dan Politik atau disingkat Sipol sebagaimana ketentuan Pasal
3 sampai dengan Pasal 21 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
(Duham) tahun 1948 dan ICCPR atau International Covenant on Civil and
Political Rights pada tahun 1966 yang sudah diratifikasi menjadi UU
Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahaan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak
Sipil dan Politik, yang apabila dijabarkan antara lain hak-hak tersebut
adalah:
- Hak untuk Hidup (the right to
life); (vide Pasal 9 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia)
- Hak Persamaan di Muka Hukum (equality
before the law);
- Kebebasan Berpendapat (freedom
of speech);
- Kebebasan dalam Beragama (freedom
of religion);
- Hak atas Kepemilikan (property
rights);
- Hak Memperoleh Keadilan (the
right to a fair trial); (vide Pasal 17, Pasal 18 dan Pasal
19 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM) dan
- Hak untuk Memilih (voting
rights).
ü Second-generation: mencakup hak di bidang ekonomi, sosial dan
budaya yang disingkat dengan ekosob, yaitu hak-hak yang menjamin kondisi dan
perlakuan yang sama bagi setiap warga negara. Hak-hak sekunder mencakup hak
untuk dipekerjakan dalam kondisi yang adil (Hak Buruh) hak atas pangan,
perumahan, dan perawatan kesehatan, serta jaminan sosial
dan tunjangan pengangguran. Seperti hak-hak generasi pertama, hak-hak
tersebut juga tercakup dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Duham), dan
selanjutnya diwujudkan dalam Pasal 22 sampai dengan Pasal 28 Duham,
dan International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights
Tahun 1966 yang diratifikasi oleh Indonesia melalui UU Nomor 11 Tahun 2005
tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan
Budaya;
ü Third-generation
human rights:
generasi ketiga HAM
mencakup hak-hak yang bersifat individual serta kolektif, di dalamnya terdapat
konsep tentang hak atas pembangunan (right to development) yang tertuang
dalam Deklarasi PBB tentang Hak atas Pembangunan Hak yang diproklamasikan oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1986 dalam “Deklarasi Hak atas
Pembangunan,” yang diadopsi melalui resolusi Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa 41/128, juga dikenal sebagai hak asasi manusia solidaritas,
hak-hak ini adalah hak yang mencoba untuk melampaui kerangka hak-hak individu
untuk fokus pada konsep-konsep kolektif, seperti komunitas atau orang-orang. sama
seperti julukan yang juga digunakan untuk hak “hijau”, dan dengan demikian
mencakup spektrum hak yang sangat luas, termasuk:
- Hak kelompok dan kolektif;
- Hak untuk menentukan nasib
sendiri;
- Hak atas pembangunan ekonomi dan
sosial;
- Hak atas lingkungan yang sehat;
- Hak atas sumber daya alam;
- Hak untuk berkomunikasi;
- Hak untuk berpartisipasi dalam
warisan budaya;
- Hak atas kesetaraan dan
keberlanjutan antar generasi.
Dasar dari Hak ini
timbulnya juga Deklarasi Stockholm tahun 1972, yang menandai upaya
internasional pertama untuk menempatkan isu-isu lingkungan hidup di garis depan
sebagai perhatian global. Konferensi ini berupaya untuk mengakui sifat terbatas
sumber daya Bumi dan dampak manusia terhadap lingkungan hidup. Konferensi ini
merupakan awal dari dialog global tentang hubungan antara pertumbuhan ekonomi,
pencemaran lingkungan hidup, dan kesejahteraan manusia. Deklarasi Stockholm
yang dihasilkan mendesak negara-negara mitranya untuk mengurangi degradasi
udara, tanah, dan air dengan mengintegrasikan ilmu pengetahuan dan teknologi
dalam rencana pembangunan mereka. Deklarasi ini juga menyerukan negara-negara
untuk membuat peraturan mengenai perlindungan satwa liar, konservasi
lingkungan, dan pengendalian populasi. Meskipun penerimaan terhadap gagasan
dalam Deklarasi ini secara umum positif, namun deklarasi ini juga mendapat
banyak kritik mengenai implementasi praktisnya, terutama dari negara-negara
berkembang.
Setelah
berlangsungnya Deklarasi Stockholm Tahun 1972, Indonesia mengambil beberapa
langkah untuk memperbaiki sistem pengelolaan lingkungan hidup, termasuk dengan
menerbitkan Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (“UU 4/1982”), yang kemudian digantikan oleh
Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (“UU
23/1997”) dan kembali digantikan oleh UU RI Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan terakhir diubah beberapa ketentuan oleh UU
tentang Cipta Kerja.
Sebagaimana Pasal
65 ayat (1) UU tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
yang menyebutkan:
“Setiap orang berhak atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia.”
Contohnya, yang
pernah kami soroti adalah permasalahan penambangan emas oleh PT Satria Pratama
Mandiri (SPM) yang pernah didesak untuk menghentikan aktivitas penambangan emas
di Sungai Kapuas yang berada di wilayah Desa Nanga Biang, sehingga ini sangat
penting memperhatikan instrumen penting dalam penyelanggaraan Hak Asasi Manusia
(Human Rights) sebagai contoh seperti Tanggung Jawab Perusahaan (Corporate
Social Responsibility) atau CSR dan Etika dalam Tata Kelola Perusahaan (Corporate
Ethics and Governence).
Bahkan disebut-sebut
ada penambahan akan generasi baru akan Hak Asasi Manusia yang lebih kompleks
dalam generasi keempat hak asasi manusia.
ü Fourth
generation: generasi
keempat hak asasi manusia sedang muncul, yang mencakup hak-hak yang tidak dapat
dimasukkan dalam generasi ketiga, klaim masa depan mengenai hak-hak generasi
pertama dan kedua, dan hak-hak baru, khususnya yang berkaitan dengan
pengembangan teknologi dan teknologi informasi dan komunikasi serta dunia maya
(cyberspace rights). Adapun contoh-contohnya antara lain:
- Hak untuk mendapatkan akses yang
sama terhadap komputasi dan teknologi digital;
- Hak untuk menentukan nasib
sendiri secara digital;
- Hak atas keamanan digital;
- Hak untuk mengakses data digital
milik sendiri (habeas data).
Hak atas privasi
tidak secara eksplisit tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (“UUD NRI 1945”). Namun hak privasi secara implisit (tersirat)
tertuang dalam Pasal 28G ayat (1) UUD NRI 1945 sebagai berikut:
“Setiap orang berhak atas
perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang
di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari
ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak
asasi.”
Perkembangan teknologi informasi dan potensi ekonomi digital yang cukup besar juga diiringi oleh beberapa dampak negatif antara lain ancaman terhadap hak atas privasi dan data diri warga negara. Hak atas privasi atau privacy right merupakan salah satu hak dalam fundamental right (vide Pasal 8 Piagam Hak Fundamental Uni Eropa (Charter of Fundamental Rights of The Eropean Union)
Pelanggaran data (data breach) dan kebocoran data (data leaks) sebagaimana diketahui beberapa kasus terakhir padahal sudah ada UU Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi masih saja bisa bocor, entah sekelas korporasi BUMN seperti BSI dan sekelas Universitas Tanjungpura baru-baru ini, bagaimana langkah konkrit yang bisa dilakukan berdasarkan tupoksi dari Komnas HAM untuk ikut berpartisipasi melihat persoalan ini dalam kerangka berpikir bahwa perlindungan data pribadi atau hak privasi adalah hak asasi manusia? Terlebih dalam HAM kita mengenal istilah Pelanggaran HAM secara aktif (act of commission), merupakan pelanggaran yang terjadi ketika negara melakukan tindakan langsung untuk turut campur dalam mengatur atau mengintervensi hak-hak warga negara yang semestinya dihormati, dilindungi, dan dipenuhi dan act of omission pelanggaran yang terjadi ketika negara seharusnya aktif melakukan kewajibannya untuk memenuhi (fulfill) dan melindungi (protect) hak asasi manusia, tetapi negara justru bertindak pasif dan tidak melakukan kewajiban tersebut.