Partisipasi Masyarakat Menjadi Syarat Utama Terwujudnya Pemerintahan Demokratis


Pontianak – Permasalahan batas wilayah antara Kota Pontianak dan Kabupaten Kubu Raya hingga saat ini masih menjadi polemik yang belum benar-benar terselesaikan sejak tanggal 13 Juli 2020 dengan keberlakuan Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2020 tentang Batas Daerah Kota Pontianak dengan Kabupaten Kubu Raya Provinsi Kalimantan Barat.

Peraturan tersebut diharapkan dapat menjamin kepastian hukum dan dinilai telah disosialisasikan dengan baik oleh Pemerintah Daerah setempat ada permasalahan yang ada terutama terkait dengan data kependudukan dapat dilaksanakan sebagai perintah peraturan perundang-undangan tersebut.

Mengingat Pelaksanaan Pilkada khususnya di Kota Pontianak pada Tahun 2024 menghadapi tantangan dengan adanya Peraturan Menteri tersebut. Sedikitnya, ada 2.900 Daftar Pemilih Tetap (DPT) di wilayah perbatasan Kota Pontianak dan Kabupaten Kubu Raya belum memiliki kejelasan soal lokasi mereka mencoblos nantinya.

Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kapuas Raya Indonesia (KRI), Eka Kurnia Chrislianto, S.H., menjelaskan batas wilayah pemilihan memiliki dampak yang signifikan pada kualitas demokrasi suatu negara.

Terdapat beberapa aspek berpengaruh antara lain: representasi yang kuat, kesetaraan suara, gerrymandering, pemerataan partisipasi penduduk, dan keadilan dalam pemilihan.

“Representasi yang Akurat ini merupakan ciri khas ya. Suatu batas wilayah pemilihan yang ditetapkan dengan adil akan memastikan bahwa setiap kelompok masyarakat terwakili dengan baik di pemerintahan. Ini mencakup representasi etnis, ekonomi, dan sosial yang proporsional. Harapan kita suatu peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemangku kepentingan harus memperhatikan hal-hal ini dalam menetapkan suatu batas wilayah dan pertimbangan itu juga harus melibatkan Masyarakat agar pengetahuan mengenai ciri khas ini tidak dilupakan,” ujar Eka.

Selanjutnya, mengenai kesetaraan suara. Jika batas wilayah pemilihan tidak diatur dengan benar, bisa terjadi ketidakseimbangan di mana suara dari satu wilayah lebih berpengaruh dibandingkan wilayah lain. Hal ini bisa menyebabkan ketidaksetaraan dalam proses pemilihan itu, terangnya.

“Gerrymandering, ini adalah praktik manipulasi batas wilayah pemilihan untuk keuntungan politik tertentu. Gerrymandering dapat mengurangi kompetisi politik, memperkuat dominasi partai tertentu, dan akhirnya merusak prinsip-prinsip demokrasi. Kita tidak mengharapkan hal seperti ini terus dipelihara ya,” tegas Eka.

Partisipasi Penduduk, batas wilayah yang jelas dan adil dapat meningkatkan partisipasi pemilih. Jika penduduk merasa bahwa suara mereka memiliki pengaruh, mereka lebih mungkin untuk berpartisipasi dalam pemilihan.

“Nah, sekarang ada kabarnya ada suatu Masyarakat tertentu yang menolak untuk ikut berpartisipasi dalam pemilihan? Ini bagaimana bisa terjadi? Padahal kita ketahui Bersama bahwa pelaksanaan prinsip dasar demokrasi menjadi amanat reformasi di Indonesia. Salah satu bentuk implementasi prinsip tersebut dengan adanya partisipasi masyarakat dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan, mulai dari pengambilan kebijakan sampai pembentukan peraturan perundang-undangan. Adanya partisipasi dari masyarakat menjadi syarat utama dari terwujudnya pemerintahan yang demokratis tersebut,” tutur Eka.

Kemudian, terkait dengan Keadilan Pemilihan. Dalam proses penetapan batas wilayah yang transparan dan berdasarkan data yang akurat akan meningkatkan kepercayaan publik terhadap sistem pemilu dan pilkada. Transparansi ini penting untuk menjamin keadilan dalam pemilihan.

“Dalam konteks ini, penting untuk mengacu pada prinsip-prinsip demografi dan geografi dalam penetapan batas wilayah pemilihan, dan melibatkan lembaga yang independen dalam proses tersebut untuk menghindari bias politik dan Masyarakat yang kritis terkait hal tersebut juga,” tutupnya.

Penulis: Kepala Humas I (Kharan Christopher Pardomuan, S.H.)

Press Release.