Kehatian-Hatian Dalam Penyidikan Terhadap Perempuan Dalam Pusaran Tindak Pidana Narkotika

 

Melawi – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kapuas Raya Indonesia menyoroti pengungkapan kasus terduga pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika di Desa Sidomulyo, Kecamatan Nanga Pinoh, Kabupaten Melawi beberapa waktu silam.

Koordinator Perempuan dan Anak Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kapuas Raya Indonesia (KRI), Ester Dwilyana Sari, S.H., menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya kepada pihak Aparat Penegak Hukum (APH) dalam hal ini Polres Melawi karena berhasil mengamankan para terduga penyalahguna narkotika tersebut.

Ester juga menjelaskan bahwa dalam perkara pidana apalagi pidana khusus seperti tindak pidana narkotika, penyidik diharapkan berhati-hati dalam proses penyelidikan dan penyidikan dugaan tindak pidana narkotika mengingat di sini yang melaku terduga pelaku penyalahgunaan narkotika adalah perempuan.

“Kebijakan pemidanaan dalam UU Narkotika kita ketahui Bersama ya, memiliki dampak yang tidak proporsional pada perempuan dengan perkiraan bahwa 35% (tiga puluh lima persen) perempuan di penjara di seluruh dunia karena tindak pidana narkotika, dibandingkan pria dengan data 19% pria,” ujarnya sambil membaca data dari United Nations Office on Drugs and Crime yang berjudul “World Drug Report 2018”, di Kantor LBH Kapuas Raya Indonesia, Jum’at, 14/06/2024.

Per Desember 2021, penjara Indonesia kelebihan kapasitas 336%, dengan 46% dari 272.217 narapidana dihukum karena penggunaan narkotika.

Ester juga menaparkan berdasarkan data tahun 2020 menunjukkan bahwa lebih dari setengah dari perempuan di penjara di Indonesia dihukum karena narkotika.Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia dalam penandatanganan Bangkok Rules, tidak mematuhi aturan yang mendorong negara-negara untuk mencari alternatif penahanan perempuan yang terlibat dalam tindak pidana ringan tanpa kekerasan seperti kepemilikan narkotika.

“Kami yakin dan percaya dalam proses ini tidak ada pelanggaran terhadap hukum acara yang dilanggar, itu harapan kita Bersama. Akan tetapi kerentanan Perempuan yang kami highlight yang menjadi suatu event penting dalam setiap proses hukum tindak pidana narkotika yang melibatkan Perempuan di dalamnya,” terang Ester.

Selain itu Ester juga menerangkan bahwa Undang-Undang telah menjelaskan kategori Pecandu Narkotika dan Penyalahgunaan Narkotika. Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis, sedangkan Penyalahguna yaitu orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum. Asas yang digunakan dalam hal tersebut dijadikan sebagai pedoman/dasar dalam UU nya (Pasal 3 UU Narkotika). Sehingga dalam regulasinya yaitu UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika memandang bahwa “Pecandu Narkotika” dan “Korban Penyalahgunaan Narkotika” merupakan 2 (dua) hal yang berbeda.

Hal tersebut dipertegas oleh Ketua LBH Kapuas Raya Indonesia, Eka Kurnia Chrislianto, S.H., kehati-hatian itu penting, mengingat kasus penyalahgunaan narkotika ini dalam pusaran yang selalu menjadi permasalahan hangat dalam dunia praktisi hukum.

“Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika memiliki 2 (dua) kualifikasi tindak pidana yaitu Tindak Pidana Peredaran Gelap Narkotika dan Tindak Pidana Penyalahguna Narkotika. Undang-Undang tentang Narkotika tidak begitu terang dan tegas dalam membedakan perumusan kedua unsur kualifikasi ini. Misalnya, seseorang yang memenuhi unsur pasal Penyalahguna Narkotika (Pasal 127 UU Narkotika) sudah tentu dengan sendirinya juga memenuhi unsur pasal “memiliki atau menguasai” narkotika (sebagaimana Pasal 111 atau Pasal 112 UU Narkotika). Padahal, kedua pasal ini memiliki ancaman pidana yang jauh berbeda. Multitafsir dan tumpang tindih unsur pasal tindak pidana dalam UU Narkotika inilah yang telah menimbulkan berbagai perbedaan pandangan dan pendapat baik di kalangan teoritik maupun praktik,” terang Eka.

Eka juga menjelaskan dalam taraf peradilan Mahkamah Agung telah memberlakukan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2015. Melalui kesepakatan kamar ini, meskipun suatu perkara telah dinyatakan terbukti melakukan “memiliki atau menguasai” Narkotika (Pasal 111 atau Pasal 112 UU Narkotika), selama fakta hukum di persidangan menunjukkan bahwa Terdakwa adalah Penyalahguna Narkotika (Pasal 127 UU Narkotika), maka hakim diperkenankan untuk menyimpangi ancaman pidana minimum khusus dalam UU Narkotika.

“Tapi perlu digaris bawahi lagi, proses hukum agar akses yang diberikan kepada pelaku terutama Perempuan ini sangat perlu dipehatikan. Pendampingan selain daripada pendampingan hukum, dari pekerja sosial professional, dan tim asesmen yang punya kompetensi sangat diperlukan agar Perempuan yang berhadapan dengan hukum dapat dijamin kepentingan hukumnya,” tutup Eka.