![]() |
Pontianak - Lembaga Bantuan Hukum (LBH)
Kapuas Raya Indonesia berkata, seharusnya Muhammad Rue Savaelja dibebaskan atas
tuduhan “melakukan tindak pidana melakukan kekerasan, memaksa anak untuk
dilakukan perbuatan cabul yang dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai
hubungan keluarga”.
Mereka menyayangkan Mahkamah
Agung Republik Indonesia (red MARI) abaikan kesalahan penerapan hukum yang
dilakukan oleh Pengadilan Negeri (PN) Pontianak dan Pengadilan Tinggi (PT)
Pontianak pada perkara Muhamaad Rue Savaelja.
“Kami belum mendapatkan salinan
putusan kasasi dari Mahkamah Agung melalui PN Pontianak untuk melihat apa
pertimbangan hukum dari Majelis Kasasi menolak Permohonan Memori Kasasi Kami,
berdasarkan penelusuran kami di https://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/perkara/perkara_detail.php?id=ffffffffff48759c-e67a-167a-bc5b-
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 2424 K/Pid.Sus/2024 tanggal 27
Maret 2024, statusnya: Perkara telah diputus, sedang dalam proses minutasi oleh
Majelis,” jelas Eka Kurnia Chrislianto, Ketua LBH Kapuas Raya Indonesia, di
Pontianak, Senin (13/05/2024).
Eka menjelaskan juga, bahwa MARI
sudah memutuskan perkara tingkat Kasasi atas nama Terdakwa Muhammad Rue
Savaelja Bin Teja Surya sebagaimana Relaas Pemberitahuan Putusan Kasasi Nomor
2424 K/Pid.Sus/2024 tanggal 30 April 2024 yang lalu, pada intinya dalam petikan
putusan kasasi mengadili menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi
I/Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Pontianak dan Pemohon Kasasi II/Terdakwa
Muhammad Rue Savaelja Alias Rui Bin Teja Surya.
“Kami saat ini bertanya-tanya,
apa pertimbangan hukum Majelis Hakim yang diketuai oleh Dr. Desnayeti, M. S.H.,
M.H., tersebut. Terdapat 2 (dua) hal yang menjadi pokok dalam Permohonan Kasasi
yang sudah kami ajukan. Pertama, Kesalahan Penerapan Hukum menjadikan alat
bukti keterangan ahli menjadi alat bukti petunjuk, bahwa PN dan PT yang
selanjutnya disebut dengan Judex Facti melanggar ketentuan Pasal 188
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) KUHAP, yang mana dalam Perkara
Nomor 182/Pid.Sus.2023/PN Ptk tersebut Majelis Hakim Tingkat Pertama
yang dikuatkan oleh Majelis Hakim Tingkat Banding menjadikan Keterangan Ahli
menjadi alat bukti petunjuk,” terang Eka.
Apabila dilihat secara seksama,
jelas Eka, pada Salinan Putusan
Pengadilan Negeri Pontianak Nomor 182/Pid.Sus/2023/PN Ptk, kita bisa
lihat pada halaman 62 disebutkan berdasarkan penglihatan dan pendengaran
Majelis Hakim di Persidangan, untuk membuktikan unsur “kekerasan” yaitu
“melakukan kekerasan, memaksa anak untuk dilakukan perbuatan cabul” Majelis
berdasarkan “Petunjuk” yang mana didapatkan sebagaimana sudah diterangkan
berasal dari Saksi, Ahli, dan Hasil Pemeriksaan Polygrap yang dianggap
dibacakan di muka persidangan.
“Perlu diingat. Penilaian atas
kekuatan pembuktian suatu petunjuk, menurut Eka, dalam setiap keadaan tertentu
dilakukan oleh Hakim dengan arif dan bijaksana setelah ia melakukan pemeriksaan
dengan penuh kecermatan dan seksama berdasarkan hati nuraninya. Selain itu,
Petunjuk itu bersifat limitative yaitu didapatkan dari Keterangan Saksi, Surat,
dan Keterangan Terdakwa,” tambah Eka.
Ini penting bersama kita pahami
bahwa Judex Facti (Hakim Tingkat Pertama di PN dan Hakim Tingkat Banding
di PT) merupakan hakim yang memeriksa fakta persidangan, apakah dari fakta itu
terbukti atau tidak perkara tersebut.
Sedangkan, Judex Jurist yaitu
Mahkamah Agung merupakan hakim yang memeriksa penerapan hukum, apakah ada
kekeliruan dalam penerapan hukum di pengadilan Judex Facti. Menjadikan
Alat Bukti Keterangan Ahli menjadi Alat Bukti Petunjuk intinya merupakan
Kesalahan Penerapan Hukum yang kami mohonkan ke Mahkamah Agung akan tetapi
Permohonan kami ditolak.
“Kemudian, Kedua, yaitu tinjauan
yuridis mengenai fakta-fakta yang terungkap di persidangan seperti keterangan
saksi dan barang bukti CCTV yang tidak pernah dipertimbangkan atau diabaikan
oleh Majelis Hakim Tingkat Pertama dan Tingkat Banding,” terang Eka.
Banyak sekali hal-hal yang
janggal terkait dengan fakta yang terungkap di persidangan bahkan ahli yang
melihat rekaman CCTV, ahli menyatakan di muka sidang dan tercatat di Putusan
Nomor 182/Pid.Sus/2023/PN Ptk pada halaman 45 menyebutkan ahli tidak
menemukan rekaman Terdakwa sedang menggendong anak, artinya Terdakwa sama
sekali tidak pernah bersentuhan dengan Korban anak, lantas Dimana pencabulannya
dilakukan?
“Harapan kami, upaya-upaya
lainnya akan terus dilakukan agar keadilan bagi Rui didapatkan. Sejauh ini
pihak keluarga sudah melakukan upaya apapun demi anak mereka, kami selaku
Penasihat Hukum mendorong agar Masyarakat yang peduli akan keadilan dan
pemerhati putusan-putusan pengadilan secara terbuka boleh dilakukan penelitian
dan kajian atas perkara ini. Karena bagaimana pun persoalan Rui ini bukan
permasalahan sepele, karena dapat menimpa siapa saja karena pengetahuan hukum
yang belum tersosialisasi dengan baik,” tutupnya.
Press Release: LBH Kapuas Raya Indonesia